POLA PIKIR DUNIA PROFESI
Disarikan oleh: E. Koswara
1. PENGANTAR
Dalam dunia kerja kita
mengenal beberapa jenis profesi seperti, dokter, guru, ahli tehnik, tentara,
pengusaha, seniman, pelukis, wartawan, dan sejumlah profesi lainnya. Sesuai tugasnya,
mereka bekerja secara rutin tanpa kenal lelah. Mereka berkarya dan menyediakan
jasa untuk melayani pelanggan. Diantara profesi itu ada yang bekerja dalam
suatu organisasi yang memiliki aturan baku, baik bekerja di organisasi
pemerintah ataupun bekerja di organisasi swasta. Namun, ada juga profesi yang
bekerja secara individual tanpa aturan baku. Meskipun sejumlah profesi bekerja
atas dasar aturan baku atau tanpa aturan baku, mereka dituntut untuk bekerja
secara profesional sesuai tuntutan budaya kerja.
Dalam
konteks ini, ada individu yang bekerja secara profesional tetapi ada juga individu
yang tidak bekerja secara profesional. Mereka yang bekerja secara profesional
menyenangi tantangan dan menganggap kegagalan sebagai awal keberhasilan. Mereka
mengapresiasi usaha bukan kemampuan. Namun, kelompok kedua sebaliknya, mereka
yang bekerja tidak profesional tidak menyenangi tantangan dan selalu berpikir
keberhasilan. Kalau mereka gagal mereka merasa dirinya tidak cerdas. Mereka
lebih menghargai kemampuan diri dari pada usaha untuk meningkatkan
kemampuannya. Mengapa ini terjadi? Menurut Carol S. Dweck, kinerja
individu ini sangat dipengaruhi oleh beragam pola pikir. Menurutnya, dari sejumlah pola pikir
itu dapat dikelompokkan menjadi dua jenis pola pikir yaitu, Pola Pikir Konstan
(fixed Mind Set) dan Pola Pikir Tumbuh ( Growth Mind Set)
Pada bagian ini akan
dibahas tentang Pola Pikir Dunia Profesi. Pembahasannya akan diawali dengan
pembahasan tentang, hakekat dunia profesi, lalu dilanjutkan dengan dua jenis pola
pikir: fixed Mind Set (Pola Pikir Konstan) dan Growth Mind Set (Pola Pikir
Tumbuh) , kaitan pola pikir dengan karakter dunia profesi termasuk instrumen
untuk mengidentifikasi karakter. Pada bagian akhir akan disajikan rangkuman dan
latihan.
2. HAKEKAT DUNIA PROFESI
Dalam bahasa
sehari-hari kita sering mendengar kata profesi yang dikaitkan dengan pekerjaan
dan keahlian/ keterampilan. Karena itu, setiap waktu profesi semakin beragam
sesuai jenis pekerjaan yang tersedia. Kata profesi adalah suatu yang berkaitan
dengan jenis pekerjaan (occupation) atau keahlian khusus yang kualifikasinya
sangat bergantung pada pendidikan dan keahlian profesi itu.
Meskipun,
banyak orang bekerja tetapi orang itu belum dapat dikatakan memiliki profesi
yang cocok dengan pekerjaannya. Begitu juga, dengan keahlian saja yang
diperoleh dari pendidikan, belum cukup untuk menyatakan suatu pekerjaan dapat
dikategorikan sebagai profesi. Tetapi suatu profesi meliputi penguasaan teori
yang mendasari praktek keahlian dalam suatu pekerjaan, penguasaan teknik sesuai
keahliannya, dan kemampuan mengaitkan teori dan praktek dalam tugas seharihari di
dunia kerja.
Selain
itu, fokus utama suatu profesi adalah untuk melayani kepentingan dan kebutuhan
masyarakat. Meskipun kaitan dengan masyarakat, tanpa disertai suatu kesadaran
diri dan itikad baik, profesi dapat disalahgunakan oleh seseorang. Untuk
mengatasi ini, biasanya masing-masing kelompok profesi memiliki kode etik yang
perlu dipatuhi. Misalnya, profesi kedokteran memiliki kode etik yang salah satu
isinya, mengharuskan untuk mendahulukan kepentingan masyarakat dari pada
kepentingan diri dan keluarga. Karena itu, seorang dokter selalu siap selama 24
jam untuk melayani orang sakit. Begitu juga, profesi wartawan memiliki kode
etik yang salah satu isinya untuk menyajikan fakta sebenarnya tanpa ada
interest khusus untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu.
3. POLA PIKIR KONSTAN DAN POLA PIKIR FLEKSIBEL
Di sekolah, di perguruan tinggi, dan di lingkungan masyarakat, kita biasa
dilatih untuk menunjukkan kemampuan melalui hasil karya kita. Mereka yang
memiliki karya bagus dan bermutu disanjung sebagai orang hebat tetapi
sebaliknya, mereka yang menunjukkan karya pas-pasan dicap sebagai orang tidak
cerdas dan tidak terampil. Kita terbiasa dengan tes IQ untuk mengetahui tingkat
kecerdasan masing-masing. Akibatnya, sebagian orang berkesimpulan bahwa, tiap
individu memiliki kemampuan berbeda-beda, ada yang IQ tinggi dan ada yang IQ
rendah, ada yang bodoh dan ada yang pintar. Setiap situasi menuntut penegasan
atas intelegensi, kepribadian, atau karakter masing-masing individu. Setiap situasi
dinilai: akankah saya tampak cerdas atau bodoh? Akankah saya diterima atau
ditolak? Akankah saya merasa sebagai pemenang atau pecundang? Kita diyakinkan
dengan situasi ini bahwa potensi individu sudah ditetapkan dan tidak mungkin
diubah. Akibatnya, prilaku kita sering mengikuti tafsiran ini. Kelompok
rata-rata dan lamban sudah berkesimpulan bahwa kalau mengalami kegagalan sudah
lumrah karena kemampuan mereka hanya rata-rata. Prakek keseharian seperti ini
membangun keyakinan dan kepercayaan pada masing-masing individu yang akhirnya
membentuk pola pikir.
Meskipun banyak orang yang
memiliki pola pikir seperti kasus diatas akibat pengaruh lingkungan sekolah,
perguruan tinggi dan kondisi masyarakat di sekitar, masih ada orang yang memiliki
pola pikir sebaliknya. Mereka ini meyakini bahwa tangan yang diberikan hanyalah
titik tolak untuk pengembangan. Mereka percaya bahwa potensi dasar individu
merupakan tambang emas yang dapat diolah menjadi emas melalui belajar dan
pengalaman. Meskipun masing-masing individu berbeda, namun setiap orang dapat
berkembang dan berubah. Orang yang memiliki pola pikir ini memang percaya
meskipun tidak semua bisa menjadi Einstein dan Beethoven tiap orang dengan
pendidikan dan motivasi tepat. Kalau kita menelusuri sejarah, kita akan
mengetahui bahwa Darwin dan Tolstoy sebelumnya dianggap sebagai anak-anak
biasa. Juga, Ben Hogan, salah seorang pemain golf terbesar sepanjang sejarah,
sama sekali tidak bisa bermain golf ketika masih kanak-kanak
Pola pikir pada kasus
pertama disebut oleh Carol S. Dweck dalam buku Mindset: The new Psychology
of Succes sebagai pola pikir konstan (fixed
mindset) dan pola pikir pada kasus kedua disebut pola pikir tumbuh (growth
mind set)
4. KAITAN
POLA PIKIR DAN KARAKTER PROFESI
Semua individu dalam dunia profesi memiliki karakter sendiri-sendiri. Karakter
itu hampir sama dengan etika, moral atau kebiasaan yaitu merupakan prinsip atau
standar cara orang berprilaku sebagaimana yang diungkapkan dalam Microsoft
Encarta (2004), yaitu sebagai berikut; ‘Ethics (dalam bahasa Yunani
dikenal dengan ethika, yang berarti ethos, yang berarti “character/ karakter,”
“custom/ kebiasaan”), sebagai ‘principles or standards of human conduct, sometimes
called morals (Latin mores, “customs”), and, by extension, the study of such
principles, sometimes called moral philosophy. This article is
concerned with ethics chiefly in the latter sense and is confined to that of
Western civilization, although every culture has developed an ethic of its own’.
Masing-masing
individu memiliki karakter khusus yang jika mereka bekerja sesuai karakternya,
mereka sering menjadi lebih nyaman bekerja dan mereka tidak menganggap
pekerjaannya sebagai beban. Namun, jika mereka ditempatkan pada tugas yang
tidak relevan dengan karakternya, mereka akan merasakan pekerjaan itu sebagai
beban. Dan mereka, seringkali
menunggu jam pulang secara tidak sabar. Misalnya, karakter seorang yang
berprofesi sebagai politisi biasanya kurang menyenangi pekerjaan yang lebih
pasif seperti asisten atau operator dengan instruksi baku.
Kalau kita telusuri prilaku manusia dalam wujud
kebiasaan itu cenderung dikendalikan oleh moralitas individu dan etika yang
berlaku dimasyarakat. Wujud kebiasaan dibangun
oleh karakter individual. Moralitas dalam bentuk keyakinan dan kepercayaan ini
diawali dari pola pikir. Dengan demikian, pola pikir merupakan hulu dari semua
karakter, moralitas, kebiasaan dan prilaku. Dengan kata lain, pola pikir
menurunkan karakter, nilai, prilaku, kebiasaan termasuk karakter dunia profesi
POLA PIKIR PNS
1.
PENGANTAR
Dewasa ini banyak orang berminat untuk menjadi
PNS. Ketika ada pendaftaran penerimaan PNS di seluruh wilayah Indonesia, orang
berbondong-bondong mendaftarkan diri sesuai kualifikasi yang diperlukan. Akibatnya,
tempat pendaftaran dibanjiri oleh lautan manusia. Apa yang memotivasi mereka
untuk menjadi PNS? Mungkin karena memang lowongan pekerjaan terbatas. Atau, memang karena
mereka melihat kenyataan, PNS banyak yang kaya raya meskipun kerjanya tidak
maksimal. Entahlah karena memang belum ada penelitian resmi tentang itu.
Namun, yang banyak kita ketahui
adalah imej negatif PNS di mata masyarakat seperti bisa korupsi, bisa datang
terlambat, bisa pulang cepat, tidak perlu kerja serius, bekerja baik kalau ada
uangnya. Masyarakat sering menyimpulkan bahwa kinerja PNS rendah, bekerja tidak
efisien dan tidak efektif. Kalau saja kesimpulan ini benar, apa penyebab
sehingga terjadi demikian? Salah satu yang diduga menjadi penyebab yang paling
dominan adalah pola pikir PNS yang cenderung dengan pola pikir tetap bukan pola
pikir tumbuh.
Pada bab ini akan diawali dengan
membahas tentang pola pikir PNS yang lazim. Setelah ini, pembahasan dilanjutkan
dengan Pola Pikir PNS yang diharapkan, lalu dilanjutkan dengan pembahasan dampak
budaya pada pola pikir PNS, dan Pola pikir PNS perlu berubah. Pada bagian akhir
disajikan rangkuman, latihan, dan instrumen otak kiri – otak kanan.
2. POLA PIKIR OKNUM PNS KINI
Salah satu kebiasaan oknum PNS adalah datang
terlambat dan pulang lebih cepat. Padahal di beberapa kantor pemerintahan sudah
ditetapkan jam kerja, misalnya dari pukul 08.00 sampai pukul 16.00. Biasanya,
pola pikir PNS yang sering terlambat dan cepat pulang adalah ’kerja rajin dan
kerja tidak rajin sama saja’, ’mengapa perlu rajin, pengawasan tidak ada dan
sangsi tidak ada’, ’lebih baik saya memanfaatkan waktu kantor untuk cari uang
tambahan’, yang salah itu tidak masuk tapi yang terlambat dan yang cepat pulang
tidak salah’,
Prilaku
oknum PNS lain yang melanggar aturan adalah melakukan tindak pidana korupsi.
Banyak cara dilakukan PNS untuk melakukan korupsi seperti antara lain, me-mark
up harga barang pembelian termasuk biaya fotocopy, memanipulasi kwitansi agar
petugas memperoleh dana segar dari proyek, dan sejumlah prilaku lain yang
melanggar larangan PNS.
3. POLA PIKIR PNS YANG DIHARAPKAN
Secara legal, PNS harus melakukan sejumlah
kewajiban dan sejumlah larangan sebagaimana tercantum dalam PP no. 30 tentang
disiplin pegawai. Para PNS diharapkan dapat bekerja secara profesional,
efektif, dan efisien. Dengan cara kerja ini, PNS dapat mencapai tujuan
organisasi. Supaya prilaku PNS itu profesional, efektif, dan efisien secara
terus menerus, maka PNS perlu memiliki pola pikir yang menunjang prilaku itu.
Carol S. Dweck mengkategorikan, pola pikir yang menunjang untuk berprilaku
profesional, efekktif, efisien, dan produktif adalah pola pikir tumbuh yang
disebutnya sebagai ’Growth Mindset’.
Beberapa
jenis pola pikir tumbuh itu antara lain, semua PNS punya potensi untuk
menyeesaikan masalah, semua PNS mampu mengerjakan karya berkualitas, semua PNS
mampu melakukan tugas kreatif, pekerjaan adalah hiburan yang menyenangkan,
korupsi adalah perbuatan jahat karena merugikan rakyat. Pola pikir ini akan
mendorong prilaku pproduktif, efektif, dan efiisien sebagai PNS yang
profesional.
Dunia kita dewasa ini menunjukkan
bahwa, orang mau bekerja karena mengejar insentif. Begitu juga di pemerintahan,
PNS akan memiliki kinerja baik,
punya motivasi tinggi bila mendapatkan insentif yang memadai. Pola pikir baru
yang mungkin tidak populer adalah, bekerja baik bukan karena bayaran tapi
karena kesenangan. Dengan pola pikir ini, PNS akan selalu bekerja penuh
semangat. Dalam hal hasil kerja baik dihargai dengan insentif khusus tentu
perlu diperkenalkan mekanisme ini. "Sudah saatnya pola pikir PNS diubah menuju budaya wirausaha untuk lebih baik
melayani publik, membuat terobosan dan kinerja yang bagus akan memberikan
insentif yang bagus pula.
Di Gorontalo, PNS yang memiliki kinerja bagus akan mendapat
insentif, dan ini diterapkan secara transparan. Hasilnya, para PNS berani menyampaikan ide-ide dan tidak terkukung
seperti belalang di dalam toples," kata Dr Ir Fadel Muhammad pada seminar
reformasi birokrasi dan insentif peningkatan kinerja, Senin (21/1) di
Kepatihan. Acara ini digelar Kemitraan (Partnership) Yogyakarta dengan Tim
Manajemen Perubahan dan Inovasi Pemprop DIY. Fadel mengatakan, pada era otonomi
daerah ini, semua permasalahan lokal yang berkaitan dengan kepentingan publik
diselesaikan secara lokal. Jangan sampai, pejabat lebih sibuk bolak-balik ke
Jakarta hanya untuk sekadar bertanya. "Sudah saatnya Pemda juga memiliki
keberanian untuk melawan Pusat, bila untuk kepentingan publik. Terobosan jelas
diperlukan, tentunya tetap memperhatikan risiko yang terhitung. Reformasi
birokrasi bisa terwujud, bila PNS
memiliki motivasi dan kinerja yang baik," kata Fadel. Soal insentif, Fadel
menyebut PNS di Gorontalo bisa
mendapatkan insentif 200 sampai 300 persen dari gaji pokok, tergantung dengan
kinerjanya. Yang menilai kinerja adalah atasan (50 persen), diri sendiri (20
persen) dan 30 persennya rekan kerja. Kondisi ini akan membuat PNS terpacu untuk membuat terobosan atau prestasi.
"Saat ini, pelayanan publik masih dicitrakan
tidak efisien dan berkualitas buruk. Birokrasi sedang menuju kebangkrutan. Ini
adalah banyak dipengaruhi oleh pola pikir para aparatur pemerintah yang memang dirasakan
sulit diajak berubah. Banyak kebijakan-kebijakan pengubahan pola pikir, tetapi
kebanyakan hanya sebatas slogan dan dilihatnya kurang menjanjikan yang
disebutkan sebagai insentif tersebut. Oleh karena itu, perlu dicari akar
permasalahan yang paling mendasar dalam pengubahan pola pikir di kalangan
aparatur pemerintah. Banyak dikatakan bahwa swasta dapat melakukan pembentukan
pola pikir kerja maksimal, efektif, dan efisien dengan baik, mengapa dikalangan
PNS tidak dapat. Kita yakini, bahwa PNS kini tentu dapat merubah pola pikir
lama menjadi pola pikir baru yang lebih produktif dan lebih berpihak pada
kepentingan masyarakat.
Menurut Stephen Covey ada tujuh
kebiasaan cara berpikir yang dilakukan oleh pegawai yang efektif itu yaitu;
berpikir proaktif, berpikir mendahulukan yang utama, dan berpikir dengan mulai
yang terakhir, berpikir dengan mengerti dahulu baru mengertikan orang lain,
berpikir menang-menang, dan berpikir sinergis, serta yang terakhir adalah
selalu berpandangan untuk belajar terus menerus. Berpikir proaktif adalah orang
yang selalu mendahului berpikir dan berbuat sebelum orang lain menyuruhnya.
Berpikir mendahulukan yang utama adalah berpikir yang selalu mendasarkan pada
kepentingan bukan kesenangan, terutama kepentingan untuk orang banyak bukan
kepentingan diri sendiri. Berpikir mulai dari yang terakhir adalah merumuskan
tujuan yang jelas dan merencanakan langkah-langkah dengan cermat dan
operasional. Ketiga kebiasaan berpikir ini membuat pegawai mandiri bekerja.
Ketiga
cara berpikir berikut ini yang meliputi cara berpikir keempat, kelima, dan
keenam, adalah mendorong pegawai menjadi saling tergantung yang selanjutnya
mendorong untuk kerjasama tim. Cara berpikir keempat adalah mengerti dahulu
baru dimengerti adalah berpikir selalu untuk mengajak kerja orang lain harus
mengerti dahulu bagaimana prosedur kerja itu harus dilakukan. Cara berpikir
kelima adalah, Berpikir menang-menang dimana kita selalu mencari jalan untuk
memecahkan persoalan harus bisa memberikan keuntungan bersama. Sedang cara
berpikir keenam adalah berpikir sinergis yaitu berpikir selalu mencari jalan
diluar kebiasaan yang dilakukan dan menemukan hasil yang terbaik.
Cara
berpikir ketujuh adalah kebiasaan berpikir sibernetika positif yaitu setelah
perjalanan berpikir dalam satu putaran, maka harus berpikir balik 360 derajat,
dan belajar dari pengalaman perlu melakukan perbaikan dan penyempurnaan
selanjutnya. Cara ini hanya bisa dilakukan dengan belajar terus tiada henti.
4. DAMPAK BUDAYA LUAR PADA POLA
PIKIR PNS
Situasi dan budaya luar akan sangat mempengaruhi pola pikir PNS, yang
sekaligus akan menggiring pada prilaku tidak terpuji dan bertentangan dengan
kode etik PNS. Dalam masa perbaikan sistem sangat mungkin budaya suatu
institusi terkontaminasi oleh nilai-nilai yang datang, baik secara alamiah sebagai akibat dari proses transformasi itu sendiri, maupun datang secara "liar" dan random dari luar institusi. Deal & Kennedy (1998) mencatat, setidaknya ada 7 budaya negatif yang mengontaminasi organisasi pada masa transisi. Ketujuh nilai tersebut dapat menghapuskan atau mengurangi karakter positif pengikat
sebuah institusi, seperti
nilai-nilai komitmen, kebersamaan, dan loyalitas. Adapun ketujuh budaya laten bawaan masa transisi itu
adalah sebagai berikut:
1.
Budaya Ketakutan
2. Budaya Menyangkal
3. Budaya Kepentingan Pribadi
4.
Budaya Mencela
5. Budaya Tidak Percaya
6. Budaya
Anomi
7.
Budaya Mengedepankan Kelompok
Budaya Ketakutan. Perubahan menimbulkan rasa tidak pasti dan kurang nyaman bagi mereka yang tidak memegang kendali. Penempatan dan pengangkatan pegawai dalam posisi
dan jabatan organisasi menimbulkan
kecemasan-kecemasan, baik di kalangan
yang akan mendapat giliran enak maupun yang tidak. Orang-orang
yang ketakutan akan merasa cemas, clan mereka yang cemas akan menyatakan kecemasannya
dengan berbicara, bergosip, clan menyampaikan kabarkabar tidak resmi. Mereka
menjadi kurang bergairah bekerja clan asyik
membicarakan pekerjaan orang lain atau atasan-atasan mereka pada teman-teman mereka. Dalam setiap perubahan
selalu saja ada orang-orang atau
kelompok-kelompok yang dianggap sebagai pemenang (karena memperoleh keuntungan, kenaikan
pangkat, perbaikan nasib, dekat
dengan pembuat keputusan) dan yang dianggap sebagai
pihak yang kalah (karena unitnya dibubarkan, kena pemutusan hubungan kerja, banyak kehilangan
kenikmatan-kenikmatan, harus bekerja
lebih banyak, dituntut hal-hal baru oleh sistem, dan berada jauh dari
pengambilan keputusan). Mereka bukan cuma menjadi
salah satu dari dua hal tersebut, melainkan berpersepsi di mana mereka berada. Tidak semua pemenang
mempersepsikan dirinya demikian. Dan
mereka yang berpersepsi sebagai
"si kalah" akan selalu merasa tidak puas, cemas, clan takut. Mereka bergerombol dan membentuk kelompok-kelompok kecil. Kalau
didiamkan, kelompok-kelompok kecil ini bisa mengorganisir kekuatan
untuk memperkuat diri dan melepaskan
diri dari kesatuan organisasi, bahkan menghambat dan mencoba menghentikan perubahan itu.
Budaya Menyangkal. Terhadap sesuatu yang berubah,
manusia tidak dengan serta-merta cepat menerimanya. Mereka mulanya justru
menyangkal. "Tidak benar!" "Itu pasti bukan Saya!"
"Pasti tidak sampai ke sini." "Fundamental ekonomi kita
sangat kuat!" "la tidak mati!" Itu adalah
kalimat-kalimat yang biasa terdengar ketika sesuatu sedang berubah.
Ketika sesuatu yang biasa
ditemui hilang atau berubah, manusia punya kecenderungan menyangkal.
Sekali mereka menyangkal, tentu semakin lama semakin banyak yang
disangkal, clan semakin jauh pemimpin dari solusi yang sesungguhnya
harus diambil. Manusia akan sulit memperbaiki hidupnya selama la menyangkal
realitas baru. Lebih celaka lagi, biasanya manusia harus melewati suatu siklus yang
tidak pendek untuk segera menerima clan mengakul perubahan.
Bagan 10.2 berikut menjelaskan siklus tersebut.
Budaya Kepentingan Pribadi (self-interest). Dalam
situasi yang berubah
akan ada banyak pihak yang lebih mengedepankan kepentingan-kepentingan
pribadinya. Masing-masing orang akan berupaya mengamankan
kepentingan-kepentingan yang melekat pada dirinya, seperti posisi,
karier, konsep, kelompok, anggaran, fasilitas,
dan sebagainya. Ketika hal ini terjadi, ikatan (cohesiveness) organisasi menjadi pertanyaan besar. Banyak
pekerjaan rutin yang tidak bisa
diselesaikan tepat waktu, dan akibatnya reformasi, reorganisasi, atau langkah-langkah manajemen perubahan tidak bisa berjalan
sebagaimana mestinya. Nilai-nilai kepentingan pribadi biasanya berkembang cukup lama dan sangat memusingkan pemimpin. Sebab, setelah mengurus kepentingan
pribadinya, seseorang akan
mengutamakan kepentingan kelompoknya. Akibatnya, organisasi terbagi-bagi dalam berbagai silo, balk silo resmi maupun yang tidak
resmi. Selain menjadi lamban bergerak, organisasi juga kaya dengan warna-warni office politics (seperti intrik dan upaya-upaya saling,menjatuhkan), tidak kreatif, dan boros.
Budaya
Mencela. Ketika orang-orang mulai mengedepankan kepentingan pribadinya
maka tidak akan ada lag, respek dari para pengikut. Orang-orang akan mulai saling mencela dan
sinis terhadap perilaku dan tindakan
atasan-atasan dan kolega mereka yang terlalu
mengedepankan urusan-urusannya sendiri. Beberapa orang yang merasa
terganggu dengan sinisme ini (namun memperoleb manfaat pribadi dari proses transisi) akan membangun kekuatan dukungan dari bawahannya dengan cara melakukan
bagi-bagi man{aat. Tetapi semua itu
dilakukan bukan untuk kepentingan organisasi, melainkan untuk mengamankan kepentingannya. Akibatnya, sinisme tidak pergi-pergi, melainkan berubah
menjadi budaya. Orang-orang yang
baik dan berhati bersih tak akan luput dari
sinisme. Mereka semua memperoleh imbas dari proses transformasi ini. Yang baik menjadi tampak buruk, yang buruk menjadi tampak baik, dan seterusnya.
Budaya Tidak Percaya. Kepercayaan atau rasa saling percaya (di luar
ikatan keluarga) adalah perekat bagi suatu institusi. Ketika respek
sudah tidak ada lagi dan orang-orang saling mengedepankan kepentingan
pribadinya, yang ada adalah rasa saling tidak percaya. Tanpa kepercayaan, otoritas tidak lagi memberikan
makna. Transaksi antarkelompok
menjadi sangat mahal, lambat, dan tidak dapat dipegang kesepakatannya.
Budaya tidak percaya erat hubungannya dengan situasi/ikatan kepercayaan
yang berlaku di suatu negara (macroculture). Ketika masyarakat suatu
bangsa tidak memercayai pemimpin-pemimpinnya maka biaya transaksi
menjadi sangat mahal. Mereka tidak lagi dipercayai
rekan-rekan bisnis dari negara lain, dunia
perbankan, perdagangan, bahkan
mereka juga tidak bisa memercayai sistem peradilan dan mata uangnya sendiri. Untuk mengatasi semua itu para pelaku usaha cenderung memilih lokasi hukum di
negeri lain, mencatat semua perjanjian secara detail, membayar pengacara, dan membebankan semua biaya itu pada pelanggan atau
mitra bisnisnya. Sebuah institusi yang diwarnai budaya saling tidak
percaya sudah pasti tak punya masa depan.
Budaya Anomi. Transisi biasanya
diikuti dengan peristiwa-peristiwa penggabungan (merger) dan pemisahan (spin off) bagian-bagian, unit-unit usaha, perusahaan, departemen,
dan sebagainya. Tidak jarang pula
pada masa ini institusi menempatkan orang-orang baru pada kursi kepemimpinan yang datang dari luar. Mereka tidak
mengikuti jalur karier tradisional melainkan melompat secara mengejutkan. Kalau pemimpin tak cukup kuat dan
pengelolaan transisi tidak sempurna,
semua ini bisa menimbulkan efek anomi, yaitu kehilangan identitas kultural atau jati diri. Orang-orang yang kehilangan jati diri atau identitas kultural dapat
digambarkan sebagai orang yang berpakaian tidak pada
tempatnya. Seperti orang berpakaian ke
pesta untuk belajar di kampus atau sebaliknya.
la akan merasa sangat
tidak nyaman dengan dirinya sendiri karena kurang mengenal lingkungannya.
la ingin cepat-cepat pergi meninggalkan institusi, tetapi merasa punya
kewajiban untuk tetap berada di sana.
Buntut
dari kehilangan identitas kultural adalah perasaan ketergantungan
dan merasa salah terus. Mengikuti rapat, tapi tak tahu mau
ke mana, siapa atasannya, seperti apa mereka, apa yang mereka
harapkan, apakah pertemuan informal penting, dan seterusnya.
Bekerja dengan atasan baru adakalanya berarti harus mulai
lagi dari nol. Orang-orang yang tadinya dianggap tidak cakap atau dianggap lebih junior bisa menjadi atasan. Peta hubungan menjadi agak kacau. Segala sesuatu yang sudah
menjadi biasa di masa lalu tiba-tiba
menjadi gelap, tidak jelas lagi. Semuanya butuh waktu untuk menjadi jelas kembali.
Budaya Mengedepankan Kepentingan Kelompok (subkultur).
Tidak semua perasaan tidak senang terhadap situasi baru dapat dinyatakan
secara terbuka oleh manusia. Meski atasan atau pemimpin
puncak belum secara resmi mengambil langkah-langkah perubahan,
suatu bocoran (issue) tentang kebijakan bisa saja
menimbulkan kegamangan-kegamangan.
Perasaan-perasaan tidak senang it" dapat diungkapkan dalam bentuk nostalgia.
Ketika orang-orang mulai bernostalgia maka itu pertanda bahwa
mereka kurang senang terhadap situasi sekarang. Biasanya, nostalgia
akan bergerak di lingkungan
yang homogen, yaitu subkultur, seperti kelompok profesi, kesamaan
kelas/strata, angkatan saat masuk, jender, kelompok etnis tertentu,
kelompok agama, dan seterusnya. Kelompok-kelompok ini tampak dalam berbagai
aktivitas, termasuk aktivitas yang menyuarakan aspirasi pekerja, seperti
serikat-serikat pekerja. Misalnya,
5. POLA PIKIR PNS PERLU BERUBAH
Dalam masyarakat ada adagium yang lazim menjadi pola
pikir yaitu, ’Biar lambat asal selamat’. Pola pikir ini sudah tidak sesuai
dengan era kini karena pola pikir ini mendorong orang bekerja pelan dan lamban.
Pola pikir ini perlu diubah menjadi ‘Harus Cepat dan Harus Selamat’. Dengan
pola pikir ini, PNS berpikir untuk mencari jalan bekerja cepat tetapi hasil
tetap berkualitas.
Banyak orang, termasuk PNS yang mengharapkan
atau bahkan berpikiran dirinya sebagai bangsawan. Jika ditanya mengapa senang
jadi bangsawan, jawabnya adalah karena terhormat. Akan tetapi tidak banyak
orang yang melihat ataupun mencari tahu mengapa bangsawan itu terhormat. Sama
seperti jika orang ditanya mengapa senang masuk menjadi PNS,
jawabnya, mungkin terbersit dalam hatinya karena terhormat. Pola pikir ini akan
mendorong prilaku merugikan masyarakat, karena mereka berusaha mencari status
kehormatan.
Pola pikir kehormatan dan yang bukan gila
hormat adalah pola pikir yang digantungkan pada kemuliaan. Oleh karena itu, nilai dan keyakinan dasar
yang mencerminkan kemuliaan itulah yang dapat mempertahankan kehormatan
bangsawan itu sampai kapanpun. Begitu juga kalau memang PNS
itu adalah berpangkal pada kehormatan. Nilai dasar yang hakiki untuk kemuliaan
pada bangsawan dan PNS adalah
pengabdian. Akan tetapi kebanyakan orang pasti akan menolak dengan makna
harafiah dari kata tersebut karena harus mengabdi yang diartikan secara pendek
rendah, hina dan nista. Pada jika dicermati pengabdian adalah perbuatan mulia
dan kebesaran jiwa serta kehidupan.
Dengan kondisi dunia kini, PNS perlu merubah pola
pikir, misalnya dari pola pikir PNS dari kekuasaan menuju pola pikir pelayanan.
Bahkan nanti, pola pikir PNS tidak sekedar pada pola pikir pelayanan masyarakat
tetapi juga menyentuh pola pikir pemberdayaan masyarakat. Kekuasaan adalah
kehormatan semu dalam jangka pendek menjanjikan tetapi dalam jangka panjang
menjerumuskan. Sedang sebaliknya pelayanan adalah kehormatan yang hakiki dalam jangka
pendek kabur dan kurang dapat dipastikan, tetapi dalam jangka panjang sangat
memberikan janji kebesaran dalam kehidupan. Seberapa panjang janji itu akan
terwujud? Hal ini akan sangat tergantung pada jenis pohon yang ditanam, tanah
yang disiapkan, pupuk yang diberikan, dan kehormatan sebagai panenan yang
diharapkan.
TEHNIK
MENGUBAH POLA PIKIR
1. PENGANTAR
Serombongan PNS tertahan di suatu tempat asing di luar kota sewaktu mereka
melakukan tugas kantor. Mereka hanya menemukan bahan makanan yang kedaluwarsa.
Karena lapar, mereka terpaksa menyantapnya, meskipun sebelumnya dicobakan dulu
kepada seekor anjing yang ternyata menikmatinya dan tak terlihat efek
sampingnya. Keesokan harinya, ketika mendengar anjing itu mati, semua orang
menjadi cemas. Banyak yang mulai muntah dan mengeluh badannya panas atau
terserang diare.
Seorang dokter dipanggil untuk merawat para
penderita keracunan makanan. Kemudian sang dokter mulai mencari sebab-musabab
kematian si anjing yang dijadikan hewan percobaan tersebut. Setelah dilacak, ternyata
anjing itu mati karena terlindas mobil dan bukan karena makanan. Apa yang menarik
dari cerita di atas ? Ternyata kita bereaksi menurut apa yang kita pikirkan,
bukan berdasarkan kenyataan itu sendiri. ’We see the world as we are,
not as it is’. Akar segala sesuatu adalah cara kita melihat. Cara kita
melihat mempengaruhi apa yang kita lakukan, dan apa yang kita lakukan
mempengaruhi apa yang kita dapatkan. Dengan mengamati ilustrasi ini diketahui
bahwa, kita sering memiliki pola pikir yang kadangkala bertentangan dengan
realita. Kalau itu terjadi, kita perlu melakukan perubahan pola pikir. Dan
untuk merubah pola pikir ini diperlukan tehnik-tehnik khusus.
Pada bagian ini akan diawali dengan pembahasan
tentang kesulitan merubah pola pikir,
lalu dilanjutkan ceramah dan indoktrinasi tidak dapat merubah pola pikir. Dan dilanjutkan dengan
beberapa tehnik untuk merubah pola pikir. Pada bagian akhir akan disajikan
rangkuman, latihan, dan instrumen otak kiri-otak kanan.
2. SULITNYA MERUBAH POLA PIKIR
ORANG
Ini
suatu ilustrasi dialog ketika seorang kaya bertemu dengan orang desa yang hidup
pas-pasan. Ada seorang nelayan tradisional
yang sedang mengail ikan di laut. Dari kejauhan, seorang pengusaha kaya dari
kota mengamatinya ketika dia sedang berlibur ke desa. Pengusaha itu
terheran-heran ketika melihat nelayan langsung pulang setelah mendapatkan dua
ekor ikan. ’Mengapa dia tidak terus memancing’ tanya pengusaha itu dalam hati,
’padahal hari masih pagi’. Pada hari-hari berikutnya, pengusaha itu mengamati
bahwa nelayan selalu pulang sebelum tengah hari meskipun hasil tngkapannya
hanya sedikit. Orang kaya yang mengamati tersebut kemudian mendekati nelayan
tersebut dan terjadilah dialog berikut ini.
Orang
kaya : ”Mengapa anda setiap sebelum
tengah hari koq sudah pulang?”
Nelayan :
”Saya harus segera kumpul dengan keluarga untuk bersenang-senang, istirahat,
dan bercanda bersama”.
Orang kaya :
”Mengapa kamu tidak berusaha menangkap ikan lebih banyak?”
Nelayan :
” Untuk apa Saya menangkap lebih banyak, yang Saya dapat saja sudah cukup”
Orang kaya :
”Jika anda dapat banyak ikan, kan bisa dijual dan hasilnya bisa ditabung”.
Nelayan :
”Untuk apa Saya menjual hasil tangkapan dan menabung?”
Orang kaya :
“Dengan menabung bukankah membuat anda memiliki uang lebih banyak”
Nelayan :
“Untuk apa uang banyak?” kan Saya tidak memerlukan, uang Saya ini sudah cukup.
Orang Kaya :
“Jika anda punya tabungan, bisa punya modal, anda bisa menjadi usahawan, dan
menangkap ikan dengan cara modern sehingga hasilnya lebih banyak lagi anda bisa
semakin kaya”
Nelayan :
“Untuk apa Saya kaya?”
Orang Kaya :
“Kalau anda kaya kan jadi seperti Saya, bisa berlibur, bersantai, bercanda
dengan keluarga, dan bisa membahagiakan keluarga”
Nelayan :
“Tidak usah kaya, sekarang Saya sudah bisa santai dengan keluarga, bercanda
bersama, dan keluarga Saya sudah bahagia” lalu untuk apa Saya harus kerja keras
untuk kaya?”
Ilustrasi di atas
menggambarkan bagaimana sulitnya merubah pola pikir nelayan dengan pola pikir
pengusaha.. Tidak mudah memang mengubah pola pikir, tetapi kita telah
merenungkan akibatnya jika pola pikir itu tidak diubah. Bisa kita bayangkan
jika Pegawai Negeri Sipil dalam melaksanakan tugas pemerintahan berpola pikir
seperti nelayan tersebut. Ataukah mungkin itu gambaran
para Pegawai Negeri kita saat ini.
3. BERPIKIR POSITIF DAN BERPIKIR
NEGATIF
Belasan tahun yang lalu, ketika Saya masih menjadi seorang manager disebuah perusahaan publik, beberapa anak buah Saya mewakili teman2nya meminta Saya untuk mengajukan permintaan kepada perusahaan untuk menyediakan ruang makan, karena selama ini, apabila mereka makan dimeja kerja, kadang-kadang ada cipratan kuah atau saos yang menodai dokumen ataupun meja kerja mereka. Setelah melalui pengajuan proposal, presentasi dan dengar pendapat, akhirnya permohonan Saya disetujui dan jadilah kami memiliki sebuah ruang makan (ruang rapat yang disulap menjadi ruang makan, dengan sebuah microwave untuk memanaskan makanan yang dibawa karyawan dari rumah).
Anak buah Saya senang sekali,
karena mereka dapat menghemat uang yang biasanya mereka gunakan untuk membeli
makanan dari luar (bisa ditabung kan ?), karena setiap hari mereka bisa membawa
makanan dari rumah (karena tetap dapat menikmati makan siang yang hangat dengan
adanya microwave). Mereka bersyukur dan mengucapkan terima kasih kepada
perusahaan karena mau mendengarkan aspirasi mereka dan perusahaan memberikan
perhatian kepada hal-hal kecil yang diminta oleh karyawannya. Sayapun melakukan
hal yang sama dengan membawa makanan dari rumah (karena biar bagaimanapun
makanan rumah memang lebih higienis dan lebih cocok dengan selera lidah kita
bukan ?). Padahal dengan demikian Saya juga bisa berhemat dan uang makan bisa
ditabung.
Tetapi betapa terkejutnya Saya
ketika sekretaris Saya memperlihatkan hasil print-out dari obrolan email
beberapa rekannya yang mencerca keputusan perusahaan tersebut dengan mengatakan
: "perusahaan ingin agar karyawan tidak makan keluar, sehingga waktu kerja
kita lebih lama. Perusahaan ingin mengetahui apa yang digosipkan karyawan
selama jam makan dengan memasang alat perekam di ruang makan (padahal Saya tahu
persis hal tersebut tidak ada, pasti mereka terlalu banyak menonton film
spionase)." Dan segala macam cercaan yang tidak masuk akal dan seperti
dibuat-buat bahkan sangat memprovokasi. Panjang print-outnya email tersebut
adalah 5 halaman folio.
Saya sempat heran juga, dan
dalam hati Saya berkata :"Lho perusahaan kan hanya menyediakan fasilitas
untuk karyawan yang membutuhkan dan tidak pernah memaksa semua karyawan harus
bawa makanan dan harus makan di ruang makan. Karena ruang makan yang disediakan
juga kecil, tidak mungkin cukup untuk semua karyawan'. Saat itu Saya sempat
sedih juga, kok ada yah orang yang bisa berpikiran seperti itu.
Nah dari kisah di atas, anda
dapat melihat bagaimana orang yang memang punya pikiran negatif selalu
memandang setiap kebaikan orang lain menjadi kejahatan, mereka selalu dipenuhi
pikiran curiga dan akhirnya akan merugikan dirinya sendiri (karena mereka akan
pergi keluar makan setiap hari sebagai bentuk pemberontakan).
Mereka yang positif, pandai
memanfaatkan momentum tersebut dan mereka dapat menabung uang makannya setiap
hari (sedikit-sedikit yang lama-lama bisa menjadi 'bukit' bukan ?) Coba kita
hitung: Kalau uang makan siang adalah Rp. 10 ribu, setiap bulan bisa menabung
Rp. 250 ribu, setahun Rp. 3 juta rupiah, sepuluh tahun dengan bunga berbunga
bisa menjadi ?
Ubahlah pikiran anda menjadi
positif, pandanglah segala sesuatu dari sisi baiknya, karena dengan demikian,
hidup anda akan jauh lebih indah dan kita akan selalu mensyukuri apapun yang
kita miliki dan berterima kasih untuk setiap apapun yang kita terima (baik
besar maupun kecil). Kita akan melihat bahwa dunia dan segala isinya memang
benar-benar ramah dan baik kepada kita.
4. BERPIKIR PROAKTIF
4. BERPIKIR PROAKTIF
Mereka yang memiliki pola pikir Proaktif, selalu membuat sesuatu terjadi seperti apa yang diinginkannya (make things happen). Apabila ada hambatan, mereka akan berusaha untuk mencari alternatif lain selama tujuan mereka tercapai. Mereka fokus kepada tujuan mereka, dan mereka percaya bahwa apapun bisa terjadi selama masih dapat dikendalikan oleh usaha sendiri. Seorang yang Reaktif, menunggu sesuatu terjadi, hasil kerjanya sering terpengaruh oleh kejadian diluar dirinya, dan dia tidak mau mengambil alih tanggung jawab.
Mereka mudah mengeluh dan
menyalahkan kejadian, orang lain atau situasi. Saya ambil contoh : seorang
salesman disebuah perusahaan penjualan berjanji untuk mengirim penawaran harga
via email kepada pelanggannya siang hari. Ketika dia tiba dikantor pagi itu,
ternyata listrik mati, dia kesal setengah mati dan menyalahkan PLN dan
bercerita dengan teman2nya bahwa dia harus mengirim penawaran kepada pelanggan,
teman2nya lalu bercerita bahwa dulu dia juga pernah mengalami hal yang sama,
dan jadilah mereka bergunjing mengenai hal itu sampai siang.
Ketika siang harinya pelanggan
menelpon ke HP salesman tersebut, diapun beralasan :" Pak, Saya belum bisa
kirim penawaran karena listrik mati dari pagi, dan sampe siang ini belum hidup
juga pak, nanti begitu listrik nyala, Saya langsung buat penawaran dan akan
Saya kirim ke bapak". Sipelanggan marah dan menjawab :"Wah tidak usah
deh, Saya sudah katakan bahwa penawaran harga Saya butuhkan siang ini karena
akan Saya bawa kedalam rapat direksi siang ini, kalau anda belum memasukkan
penawaran harga, maka Saya langsung putuskan saja perusahaan A yang
menang"
Seorang yang Proaktif akan
melakukan upaya apapun agar penawaran harga dapat tetap diterima oleh pelanggan
tepat pada waktunya. Dia tidak tahu kapan listrik akan menyala, maka dia
langsung membawa data2 yang dibutuhkan untuk membuat penawaran, lalu pergi ke
warnet terdekat. Disana dia membuat penawaran harga dan langsung dikirimkan
kepada pelanggan via email. Setelah selesai, dia menelpon pelanggan dari HPnya
dan menanyakan apakah penawaran sudah diterima dan mengatakan apabila ada hal
lain yang dibutuhkan bisa menelpon ke HPnya, karena dikantor sedang padam
listrik.
Seorang Proaktif, tidak pernah
hitung2an (misalnya : apakah nanti perusahaan akan mengganti biaya warnet, atau
biaya HPnya), yang dia pikirkan adalah pekerjaannya selesai dan janji kepada
pelanggan dipenuhi. Orang-orang sukses adalah orang2 proaktif. Mereka tidak
menyalahkan orang lain atau situasi buruk apabila pekerjaan tidak dapat
diselesaikan, dia akan mencari cara lain agar tujuannya tercapai. Itulah yang
membedakannya dengan orang lain, itulah yang membuatnya menjadi 'Winner'.
Coba anda perhatikan semua
atlit olahraga yang sukses pasti memiliki pola pikir seorang pemenang, contoh :
Tiger Woods dapat melakukan pukulan yang luarbiasa dibidang olah raga Golf
sementara usianya masih sangat muda karena dia sudah tekun berlatih sejak
kecil. Michael Jordan melakukan latihan lebih lama daripada rekan2nya, ketika
orang lain sudah lelah, dia masih terus melatih lemparan bolanya, dan menjadi
legenda bibidang olah raga Bola Basket. Mereka mengambil alih tanggung jawab
untuk menjadi seorang 'Winner'.
Dalam sebuah tayangan acara
Oprah Winfrey Show beberapa tahun yang lalu, Saya menyaksikan wawancara Oprah
dengan seorang pria yang tidak memiliki kedua kaki sejak lahir. Diperlihatkan
bahwa pria ini dibesarkan oleh keluarga yang sangat menyayanginya, tetapi tidak
pernah memberikan perlakuan berbeda dari dua orang kakaknya yang normal. Dia
tetap harus melakukan pekerjaan dirumah (mencuci piring, membersihkan tempat
tidur, dll). Dia juga harus berjalan 'tangan' kesekolah (karena dia tidak
memiliki kedua kaki, maka kalau berjalan dia harus menggunakan tangannya sambil
memindahkan badannya setiap kali). Ditayangkan bagaimana kecepatannya berjalan
'tangan' sambil membawa ransel dipunggungnya tidak berbeda dengan kecepatan
temannya yang berjalan kaki.
Kesenjangan antara pola pikir,
pola sikap dan pola tindak masyarakat kita dengan yang dipersyaratkan Birokrasi
Mesin inilah yang membuat sulit untuk menciptakan perubahan.
5. BEBERAPA TEHNIK
Dari contoh di atas dan yang sering terjadi di
birokrasi swasta, sebenarnya Sangat baik jika itu terjadi juga pada aparat
birokrasi pemerintah. Pengubahan pola pikir pada dasarnya adalah pengubahan
keyakinan akan nilai-nilai yang dianut, Oleh karena itu, ada beberapa cara yang
dapat dipakai untuk mengubah pola pikir agar aparat pemerintah dapat bekerja
menjadi lebih efektif dan efisien baik untuk organisasi maupun diri sendiri. Kelima cara itu adalah
pertama mengubah keyakinan dengan pertanyaan kritis. Kedua mengubah keyakinan
dengan teknik afirmasi dan visualisasi. Ketiga mengubah keyakinan dengan teknik
pembebasan diri dari ikatan emosi. Keempat pengubahan keyakinan dengan
menggunakan teklnik hipnoterapi. Kelima adalah pengubahan keyakinan dengan
menggunakan program ”neuro-linguistic”
Teknik
Pertanyaan Kritis. Teknik ini adalah mengubah keyakinan yang berasal dari mitos dan telah
dinilai melalui teknik tertentu ternyata merupakan keyakinan yang menghambat
tercapainya cita-cita atau harapan yang harus dicapai. Setelah menemukan
keyakinan tersebut anda harus menguji kebenaran mitos tersebut melalui
pertanyaan kritis sehingga akan menemukan keyakinan tersebut menjadi
sebaliknya. Sebagai misal mencari uang telah dimitoskan susah. Dengan
pertanyaan kritis maka akan ditemukan ternyata mencari uang itu mudah. Hal ini
akhirnya diyakini dan menjadi pola pikir bahwa mencari uang itu ternyata mudah.
Pada gilirannya perilaku yang terus dilakukan akan senantiasa menemukan jalan
mencari uang itu menjadi mudah. Ingat kisah Robin Hood di Bab II.
Teknik
Afirmasi. Teknik ini adalah pemrograman ulang ingatan bawah sadar yang menjadi
sugesti sehingga kita punya semangat untuk berbuat. Keduanya menggunakan cara
yang sama tetapi medianya berbeda. Afirmasi menggunakan media sugesti dengan
kata-kata. Sedang Visualisasi teknik sugesti dengan menggunakan media gambar
atau bayangan. Dasar pemikirannya adalah pada pikiran bawah sadar lebih banyak
menggunakan media gambar dari pada kata-kata. Oleh karena itu, kedua cara
tersebut harus digunakan untuk mendapatkan hasil yang lebih optimal. Ingat pada
kisah-kisah berpikir positif dan proaktif di atas. Cara ini banyak digunakan
dalam kegiatan-kegiatan motivasional. Cara yang digunakan adalah dengan
menganalisis lapisan kehidupan dari sadar, bawah sadar yang terdiri atas
pikiran kritis, pikiran modern, dan pikiran primitif. Dari hasil analisis
lapisan pikiran ini akan ditemukan skenario hidup sebagai kumpulan dari
keyakinan-keyaninan dan dibentuklah kemudian skenario hidup yang baru.
Teknik
Pembebasan Diri Dari Ikatan Emosi. Teknik ini adalah adalah pengubahan pola pikir
dengan cara mengalihkan sumber-sumber emosi penolakan yang dirasakan menghambat
pencapaian tujuan hidupnya. Pengalihan atau penetralan sumber emosi penolakan
dilakukan dengan dibarengi dengan ketukan akupuntur dengan jari. Dalam
penetralan emosi penolakan juga digunakan kata-kata afirmasi. Ada lima langkah
yang harus diikuti dalam teknik ini yang berguna untuk menghancurkan mental
blok, yaitu mengukur kualitas dan besaran masalah, melakukan penyiapan emosi
yang disebut set up, melakukan urutan pengetukan, menutup dengan 9 prosedur
gammut (meyakinkan diri), terakhir mengulangi urutan pengetukan dan mengukur
perubahan. Pelaksanaan penetralan emosi penolakan ini dilandasi dengan sikap
positif dan hukum alam sebagi janji Tuhan pada umatNya.
Teklnik
Hipnoterapi. Teknik ini banyak namanya ada yang terapi gestalt ada pula yang menyebut
dengan ”transactional analysis”. Pada
dasarna adalah merupakan ”The Art Of
Subconciuosness Restructuring” atau ”The
Art Of Subconciuosness Communication”. Teknik ini dapat dilakukan dengan
bimbingan ahli, tetapi dapat dilakukan sendiri yang disebut dengan parts therap. Langkahnya hampir sama
dengan teknik lainnya selalu mencari akar permasalahan. Hanya dalam teknik ini
menggunakan teknik lain yang disebut dengan ”affect
bridge”
Teknik
Program ”Neuro-Linguistic”. Teknik
menggunakan tiga berpikir yaitu visual, auditorial, dan kinestetik. Visual adalah membuat gambar atau
bayangan dalam pikiran kita, auditorial adalah melakukan percakapan dengan diri
sendiri, dan kenestetik adalah melibatkan perasaan dan emosi dalam melakukan
tindakan. Cara ini sebenarnya adalah suatu cara untuk menghilangkan virus
pikiran yang selalu menyabotase pikiran kita dalam mencapai tujuan. Hampir
semua virus yang menyabotase pikiran kita adalah pikiran setaniah, sehingga
orang akan cenderung berbuat setaniah. Intinya teknik ini adalah membuat
koherenitas gerak pikiran kita dalam mencapai tujuan. Cara yang harus dilakukan
adalah menemukan ketidak koherenitas pikiran, mencari modalitas, dan menemukan
trigger. Selanjutnya adalah menciptakan power trigger, collapsing ancjor, dan
setting reverse trigger.
Tehnik refleksi dalam situasi
konflik
Salah satu tehnik yang bisa juga digunakan untuk
merubah pola pikir yang sudah diyakini adalah dengan melakukan refleksi sambil
menguji pola pikir yang ada dengan beragam peristiwa terutama peristiwa yang
mentang pola pikirnya. Ketika pola pikirnya tidak dapat digunakan untuk
memvalidasi peristiwa nyata, pada keadaaan ini ada peluang individu untuk
memperbaiki atau bahkan merubah pola pikir lama menjadi pola pikir baru yang
lebih fungsional dengan beberapa peristiwa yang ada.