TULISAN KITA




POLA PIKIR DUNIA PROFESI
Disarikan oleh: E. Koswara

1. PENGANTAR

Dalam dunia kerja kita mengenal beberapa jenis profesi seperti, dokter, guru, ahli tehnik, tentara, pengusaha, seniman, pelukis, wartawan, dan sejumlah profesi lainnya. Sesuai tugasnya, mereka bekerja secara rutin tanpa kenal lelah. Mereka berkarya dan menyediakan jasa untuk melayani pelanggan. Diantara profesi itu ada yang bekerja dalam suatu organisasi yang memiliki aturan baku, baik bekerja di organisasi pemerintah ataupun bekerja di organisasi swasta. Namun, ada juga profesi yang bekerja secara individual tanpa aturan baku. Meskipun sejumlah profesi bekerja atas dasar aturan baku atau tanpa aturan baku, mereka dituntut untuk bekerja secara profesional sesuai tuntutan budaya kerja.
Dalam konteks ini, ada individu yang bekerja secara profesional tetapi ada juga individu yang tidak bekerja secara profesional. Mereka yang bekerja secara profesional menyenangi tantangan dan menganggap kegagalan sebagai awal keberhasilan. Mereka mengapresiasi usaha bukan kemampuan. Namun, kelompok kedua sebaliknya, mereka yang bekerja tidak profesional tidak menyenangi tantangan dan selalu berpikir keberhasilan. Kalau mereka gagal mereka merasa dirinya tidak cerdas. Mereka lebih menghargai kemampuan diri dari pada usaha untuk meningkatkan kemampuannya. Mengapa ini terjadi? Menurut Carol S. Dweck, kinerja individu ini sangat dipengaruhi oleh beragam pola pikir. Menurutnya, dari sejumlah pola pikir itu dapat dikelompokkan menjadi dua jenis pola pikir yaitu, Pola Pikir Konstan (fixed Mind Set) dan Pola Pikir Tumbuh ( Growth Mind Set)
            Pada bagian ini akan dibahas tentang Pola Pikir Dunia Profesi. Pembahasannya akan diawali dengan pembahasan tentang, hakekat dunia profesi, lalu dilanjutkan dengan dua jenis pola pikir: fixed Mind Set (Pola Pikir Konstan) dan Growth Mind Set (Pola Pikir Tumbuh) , kaitan pola pikir dengan karakter dunia profesi termasuk instrumen untuk mengidentifikasi karakter. Pada bagian akhir akan disajikan rangkuman dan latihan.

2. HAKEKAT DUNIA PROFESI

Dalam bahasa sehari-hari kita sering mendengar kata profesi yang dikaitkan dengan pekerjaan dan keahlian/ keterampilan. Karena itu, setiap waktu profesi semakin beragam sesuai jenis pekerjaan yang tersedia. Kata profesi adalah suatu yang berkaitan dengan jenis pekerjaan (occupation) atau keahlian khusus yang kualifikasinya sangat bergantung pada pendidikan dan keahlian profesi itu.
Meskipun, banyak orang bekerja tetapi orang itu belum dapat dikatakan memiliki profesi yang cocok dengan pekerjaannya. Begitu juga, dengan keahlian saja yang diperoleh dari pendidikan, belum cukup untuk menyatakan suatu pekerjaan dapat dikategorikan sebagai profesi. Tetapi suatu profesi meliputi penguasaan teori yang mendasari praktek keahlian dalam suatu pekerjaan, penguasaan teknik sesuai keahliannya, dan kemampuan mengaitkan teori dan praktek dalam tugas seharihari di dunia kerja.
Selain itu, fokus utama suatu profesi adalah untuk melayani kepentingan dan kebutuhan masyarakat. Meskipun kaitan dengan masyarakat, tanpa disertai suatu kesadaran diri dan itikad baik, profesi dapat disalahgunakan oleh seseorang. Untuk mengatasi ini, biasanya masing-masing kelompok profesi memiliki kode etik yang perlu dipatuhi. Misalnya, profesi kedokteran memiliki kode etik yang salah satu isinya, mengharuskan untuk mendahulukan kepentingan masyarakat dari pada kepentingan diri dan keluarga. Karena itu, seorang dokter selalu siap selama 24 jam untuk melayani orang sakit. Begitu juga, profesi wartawan memiliki kode etik yang salah satu isinya untuk menyajikan fakta sebenarnya tanpa ada interest khusus untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu. 

3. POLA PIKIR KONSTAN DAN POLA PIKIR FLEKSIBEL

Di sekolah, di perguruan tinggi, dan di lingkungan masyarakat, kita biasa dilatih untuk menunjukkan kemampuan melalui hasil karya kita. Mereka yang memiliki karya bagus dan bermutu disanjung sebagai orang hebat tetapi sebaliknya, mereka yang menunjukkan karya pas-pasan dicap sebagai orang tidak cerdas dan tidak terampil. Kita terbiasa dengan tes IQ untuk mengetahui tingkat kecerdasan masing-masing. Akibatnya, sebagian orang berkesimpulan bahwa, tiap individu memiliki kemampuan berbeda-beda, ada yang IQ tinggi dan ada yang IQ rendah, ada yang bodoh dan ada yang pintar. Setiap situasi menuntut penegasan atas intelegensi, kepribadian, atau karakter masing-masing individu. Setiap situasi dinilai: akankah saya tampak cerdas atau bodoh? Akankah saya diterima atau ditolak? Akankah saya merasa sebagai pemenang atau pecundang? Kita diyakinkan dengan situasi ini bahwa potensi individu sudah ditetapkan dan tidak mungkin diubah. Akibatnya, prilaku kita sering mengikuti tafsiran ini. Kelompok rata-rata dan lamban sudah berkesimpulan bahwa kalau mengalami kegagalan sudah lumrah karena kemampuan mereka hanya rata-rata. Prakek keseharian seperti ini membangun keyakinan dan kepercayaan pada masing-masing individu yang akhirnya membentuk pola pikir.
            Meskipun banyak orang yang memiliki pola pikir seperti kasus diatas akibat pengaruh lingkungan sekolah, perguruan tinggi dan kondisi masyarakat di sekitar, masih ada orang yang memiliki pola pikir sebaliknya. Mereka ini meyakini bahwa tangan yang diberikan hanyalah titik tolak untuk pengembangan. Mereka percaya bahwa potensi dasar individu merupakan tambang emas yang dapat diolah menjadi emas melalui belajar dan pengalaman. Meskipun masing-masing individu berbeda, namun setiap orang dapat berkembang dan berubah. Orang yang memiliki pola pikir ini memang percaya meskipun tidak semua bisa menjadi Einstein dan Beethoven tiap orang dengan pendidikan dan motivasi tepat. Kalau kita menelusuri sejarah, kita akan mengetahui bahwa Darwin dan Tolstoy sebelumnya dianggap sebagai anak-anak biasa. Juga, Ben Hogan, salah seorang pemain golf terbesar sepanjang sejarah, sama sekali tidak bisa bermain golf ketika masih kanak-kanak
            Pola pikir pada kasus pertama disebut oleh Carol S. Dweck dalam buku Mindset: The new Psychology of  Succes sebagai pola pikir konstan (fixed mindset) dan pola pikir pada kasus kedua disebut pola pikir tumbuh (growth mind set)


 4. KAITAN POLA PIKIR DAN KARAKTER PROFESI

Semua individu dalam dunia profesi memiliki karakter sendiri-sendiri. Karakter itu hampir sama dengan etika, moral atau kebiasaan yaitu merupakan prinsip atau standar cara orang berprilaku sebagaimana yang diungkapkan dalam Microsoft Encarta (2004), yaitu sebagai berikut; ‘Ethics (dalam bahasa Yunani dikenal dengan ethika, yang berarti ethos, yang berarti “character/ karakter,” “custom/ kebiasaan”), sebagai ‘principles or standards of human conduct, sometimes called morals (Latin mores, “customs”), and, by extension, the study of such principles, sometimes called moral philosophy. This article is concerned with ethics chiefly in the latter sense and is confined to that of Western civilization, although every culture has developed an ethic of its own’.
Masing-masing individu memiliki karakter khusus yang jika mereka bekerja sesuai karakternya, mereka sering menjadi lebih nyaman bekerja dan mereka tidak menganggap pekerjaannya sebagai beban. Namun, jika mereka ditempatkan pada tugas yang tidak relevan dengan karakternya, mereka akan merasakan pekerjaan itu sebagai beban. Dan mereka, seringkali menunggu jam pulang secara tidak sabar. Misalnya, karakter seorang yang berprofesi sebagai politisi biasanya kurang menyenangi pekerjaan yang lebih pasif seperti asisten atau operator dengan instruksi baku.
Kalau kita telusuri prilaku manusia dalam wujud kebiasaan itu cenderung dikendalikan oleh moralitas individu dan etika yang berlaku dimasyarakat.  Wujud kebiasaan dibangun oleh karakter individual. Moralitas dalam bentuk keyakinan dan kepercayaan ini diawali dari pola pikir. Dengan demikian, pola pikir merupakan hulu dari semua karakter, moralitas, kebiasaan dan prilaku. Dengan kata lain, pola pikir menurunkan karakter, nilai, prilaku, kebiasaan termasuk karakter dunia profesi



POLA PIKIR PNS

 1. PENGANTAR

Dewasa ini banyak orang berminat untuk menjadi PNS. Ketika ada pendaftaran penerimaan PNS di seluruh wilayah Indonesia, orang berbondong-bondong mendaftarkan diri sesuai kualifikasi yang diperlukan. Akibatnya, tempat pendaftaran dibanjiri oleh lautan manusia. Apa yang memotivasi mereka untuk menjadi PNS? Mungkin karena memang lowongan pekerjaan terbatas. Atau, memang karena mereka melihat kenyataan, PNS banyak yang kaya raya meskipun kerjanya tidak maksimal. Entahlah karena memang belum ada penelitian resmi tentang itu.
Namun, yang banyak kita ketahui adalah imej negatif PNS di mata masyarakat seperti bisa korupsi, bisa datang terlambat, bisa pulang cepat, tidak perlu kerja serius, bekerja baik kalau ada uangnya. Masyarakat sering menyimpulkan bahwa kinerja PNS rendah, bekerja tidak efisien dan tidak efektif. Kalau saja kesimpulan ini benar, apa penyebab sehingga terjadi demikian? Salah satu yang diduga menjadi penyebab yang paling dominan adalah pola pikir PNS yang cenderung dengan pola pikir tetap bukan pola pikir tumbuh.
Pada bab ini akan diawali dengan membahas tentang pola pikir PNS yang lazim. Setelah ini, pembahasan dilanjutkan dengan Pola Pikir PNS yang diharapkan, lalu dilanjutkan dengan pembahasan dampak budaya pada pola pikir PNS, dan Pola pikir PNS perlu berubah. Pada bagian akhir disajikan rangkuman, latihan, dan instrumen otak kiri – otak kanan.

2. POLA PIKIR OKNUM PNS KINI

Salah satu kebiasaan oknum PNS adalah datang terlambat dan pulang lebih cepat. Padahal di beberapa kantor pemerintahan sudah ditetapkan jam kerja, misalnya dari pukul 08.00 sampai pukul 16.00. Biasanya, pola pikir PNS yang sering terlambat dan cepat pulang adalah ’kerja rajin dan kerja tidak rajin sama saja’, ’mengapa perlu rajin, pengawasan tidak ada dan sangsi tidak ada’, ’lebih baik saya memanfaatkan waktu kantor untuk cari uang tambahan’, yang salah itu tidak masuk tapi yang terlambat dan yang cepat pulang tidak salah’,
            Prilaku oknum PNS lain yang melanggar aturan adalah melakukan tindak pidana korupsi. Banyak cara dilakukan PNS untuk melakukan korupsi seperti antara lain, me-mark up harga barang pembelian termasuk biaya fotocopy, memanipulasi kwitansi agar petugas memperoleh dana segar dari proyek, dan sejumlah prilaku lain yang melanggar larangan PNS.

3. POLA PIKIR PNS YANG DIHARAPKAN

Secara legal, PNS harus melakukan sejumlah kewajiban dan sejumlah larangan sebagaimana tercantum dalam PP no. 30 tentang disiplin pegawai. Para PNS diharapkan dapat bekerja secara profesional, efektif, dan efisien. Dengan cara kerja ini, PNS dapat mencapai tujuan organisasi. Supaya prilaku PNS itu profesional, efektif, dan efisien secara terus menerus, maka PNS perlu memiliki pola pikir yang menunjang prilaku itu. Carol S. Dweck mengkategorikan, pola pikir yang menunjang untuk berprilaku profesional, efekktif, efisien, dan produktif adalah pola pikir tumbuh yang disebutnya sebagai ’Growth Mindset’.
            Beberapa jenis pola pikir tumbuh itu antara lain, semua PNS punya potensi untuk menyeesaikan masalah, semua PNS mampu mengerjakan karya berkualitas, semua PNS mampu melakukan tugas kreatif, pekerjaan adalah hiburan yang menyenangkan, korupsi adalah perbuatan jahat karena merugikan rakyat. Pola pikir ini akan mendorong prilaku pproduktif, efektif, dan efiisien sebagai PNS yang profesional.
Dunia kita dewasa ini menunjukkan bahwa, orang mau bekerja karena mengejar insentif. Begitu juga di pemerintahan, PNS akan memiliki kinerja baik, punya motivasi tinggi bila mendapatkan insentif yang memadai. Pola pikir baru yang mungkin tidak populer adalah, bekerja baik bukan karena bayaran tapi karena kesenangan. Dengan pola pikir ini, PNS akan selalu bekerja penuh semangat. Dalam hal hasil kerja baik dihargai dengan insentif khusus tentu perlu diperkenalkan mekanisme ini. "Sudah saatnya pola pikir PNS diubah menuju budaya wirausaha untuk lebih baik melayani publik, membuat terobosan dan kinerja yang bagus akan memberikan insentif yang bagus pula.
Di Gorontalo, PNS yang memiliki kinerja bagus akan mendapat insentif, dan ini diterapkan secara transparan. Hasilnya, para PNS berani menyampaikan ide-ide dan tidak terkukung seperti belalang di dalam toples," kata Dr Ir Fadel Muhammad pada seminar reformasi birokrasi dan insentif peningkatan kinerja, Senin (21/1) di Kepatihan. Acara ini digelar Kemitraan (Partnership) Yogyakarta dengan Tim Manajemen Perubahan dan Inovasi Pemprop DIY. Fadel mengatakan, pada era otonomi daerah ini, semua permasalahan lokal yang berkaitan dengan kepentingan publik diselesaikan secara lokal. Jangan sampai, pejabat lebih sibuk bolak-balik ke Jakarta hanya untuk sekadar bertanya. "Sudah saatnya Pemda juga memiliki keberanian untuk melawan Pusat, bila untuk kepentingan publik. Terobosan jelas diperlukan, tentunya tetap memperhatikan risiko yang terhitung. Reformasi birokrasi bisa terwujud, bila PNS memiliki motivasi dan kinerja yang baik," kata Fadel. Soal insentif, Fadel menyebut PNS di Gorontalo bisa mendapatkan insentif 200 sampai 300 persen dari gaji pokok, tergantung dengan kinerjanya. Yang menilai kinerja adalah atasan (50 persen), diri sendiri (20 persen) dan 30 persennya rekan kerja. Kondisi ini akan membuat PNS terpacu untuk membuat terobosan atau prestasi.

"Saat ini, pelayanan publik masih dicitrakan tidak efisien dan berkualitas buruk. Birokrasi sedang menuju kebangkrutan. Ini adalah banyak dipengaruhi oleh pola pikir para aparatur pemerintah yang memang dirasakan sulit diajak berubah. Banyak kebijakan-kebijakan pengubahan pola pikir, tetapi kebanyakan hanya sebatas slogan dan dilihatnya kurang menjanjikan yang disebutkan sebagai insentif tersebut. Oleh karena itu, perlu dicari akar permasalahan yang paling mendasar dalam pengubahan pola pikir di kalangan aparatur pemerintah. Banyak dikatakan bahwa swasta dapat melakukan pembentukan pola pikir kerja maksimal, efektif, dan efisien dengan baik, mengapa dikalangan PNS tidak dapat. Kita yakini, bahwa PNS kini tentu dapat merubah pola pikir lama menjadi pola pikir baru yang lebih produktif dan lebih berpihak pada kepentingan masyarakat.


Menurut Stephen Covey ada tujuh kebiasaan cara berpikir yang dilakukan oleh pegawai yang efektif itu yaitu; berpikir proaktif, berpikir mendahulukan yang utama, dan berpikir dengan mulai yang terakhir, berpikir dengan mengerti dahulu baru mengertikan orang lain, berpikir menang-menang, dan berpikir sinergis, serta yang terakhir adalah selalu berpandangan untuk belajar terus menerus. Berpikir proaktif adalah orang yang selalu mendahului berpikir dan berbuat sebelum orang lain menyuruhnya. Berpikir mendahulukan yang utama adalah berpikir yang selalu mendasarkan pada kepentingan bukan kesenangan, terutama kepentingan untuk orang banyak bukan kepentingan diri sendiri. Berpikir mulai dari yang terakhir adalah merumuskan tujuan yang jelas dan merencanakan langkah-langkah dengan cermat dan operasional. Ketiga kebiasaan berpikir ini membuat pegawai mandiri bekerja.
Ketiga cara berpikir berikut ini yang meliputi cara berpikir keempat, kelima, dan keenam, adalah mendorong pegawai menjadi saling tergantung yang selanjutnya mendorong untuk kerjasama tim. Cara berpikir keempat adalah mengerti dahulu baru dimengerti adalah berpikir selalu untuk mengajak kerja orang lain harus mengerti dahulu bagaimana prosedur kerja itu harus dilakukan. Cara berpikir kelima adalah, Berpikir menang-menang dimana kita selalu mencari jalan untuk memecahkan persoalan harus bisa memberikan keuntungan bersama. Sedang cara berpikir keenam adalah berpikir sinergis yaitu berpikir selalu mencari jalan diluar kebiasaan yang dilakukan dan menemukan hasil yang terbaik.
Cara berpikir ketujuh adalah kebiasaan berpikir sibernetika positif yaitu setelah perjalanan berpikir dalam satu putaran, maka harus berpikir balik 360 derajat, dan belajar dari pengalaman perlu melakukan perbaikan dan penyempurnaan selanjutnya. Cara ini hanya bisa dilakukan dengan belajar terus tiada henti.


4. DAMPAK BUDAYA LUAR PADA POLA PIKIR PNS

Situasi dan budaya luar akan sangat mempengaruhi pola pikir PNS, yang sekaligus akan menggiring pada prilaku tidak terpuji dan bertentangan dengan kode etik PNS. Dalam masa perbaikan sistem sangat mungkin budaya suatu institusi ter­kontaminasi oleh nilai-nilai yang datang, baik secara alamiah seba­gai akibat dari proses transformasi itu sendiri, maupun datang se­cara "liar" dan random dari luar institusi. Deal & Kennedy (1998) mencatat, setidaknya ada 7 budaya negatif yang mengontaminasi organisasi pada masa transisi. Ketujuh nilai tersebut dapat mengha­puskan atau mengurangi karakter positif pengikat sebuah institusi, seperti nilai-nilai komitmen, kebersamaan, dan loyalitas. Adapun ketujuh budaya laten bawaan masa transisi itu adalah sebagai beri­kut:
1. Budaya Ketakutan
2. Budaya Menyangkal
3. Budaya Kepentingan Pribadi
4. Budaya Mencela
5. Budaya Tidak Percaya
6. Budaya Anomi
7. Budaya Mengedepankan Kelompok

Budaya Ketakutan. Perubahan menimbulkan rasa tidak pasti dan kurang nyaman bagi mereka yang tidak memegang kendali. Penempatan dan pengangkatan pegawai dalam posisi dan jabatan organisasi menimbulkan kecemasan-kecemasan, baik di kalangan yang akan menda­pat giliran enak maupun yang tidak. Orang-orang yang ketakutan akan merasa cemas, clan mereka yang cemas akan menyatakan kece­masannya dengan berbicara, bergosip, clan menyampaikan kabar­kabar tidak resmi. Mereka menjadi kurang bergairah bekerja clan asyik membicarakan pekerjaan orang lain atau atasan-atasan mereka pada teman-teman mereka. Dalam setiap perubahan selalu saja ada orang-orang atau kelompok-kelompok yang dianggap sebagai pe­menang (karena memperoleh keuntungan, kenaikan pangkat, per­baikan nasib, dekat dengan pembuat keputusan) dan yang dianggap sebagai pihak yang kalah (karena unitnya dibubarkan, kena pemu­tusan hubungan kerja, banyak kehilangan kenikmatan-kenikmatan, harus bekerja lebih banyak, dituntut hal-hal baru oleh sistem, dan berada jauh dari pengambilan keputusan). Mereka bukan cuma menjadi salah satu dari dua hal tersebut, melainkan berpersepsi di mana mereka berada. Tidak semua pemenang mempersepsikan diri­nya demikian. Dan mereka yang berpersepsi sebagai "si kalah" akan selalu merasa tidak puas, cemas, clan takut. Mereka bergerombol dan membentuk kelompok-kelompok kecil. Kalau didiamkan, ke­lompok-kelompok kecil ini bisa mengorganisir kekuatan untuk memperkuat diri dan melepaskan diri dari kesatuan organisasi, bah­kan menghambat dan mencoba menghentikan perubahan itu.

Budaya Menyangkal. Terhadap sesuatu yang berubah, manusia tidak dengan serta-merta cepat menerimanya. Mereka mulanya jus­tru menyangkal. "Tidak benar!" "Itu pasti bukan Saya!" "Pasti tidak sampai ke sini." "Fundamental ekonomi kita sangat kuat!" "la tidak mati!" Itu adalah kalimat-kalimat yang biasa terdengar ketika se­suatu sedang berubah.

Ketika sesuatu yang biasa ditemui hilang atau berubah, manusia punya kecenderungan menyangkal. Sekali mereka menyangkal, tentu semakin lama semakin banyak yang disangkal, clan semakin jauh pemimpin dari solusi yang sesungguhnya harus diambil. Ma­nusia akan sulit memperbaiki hidupnya selama la menyangkal reali­tas baru. Lebih celaka lagi, biasanya manusia harus melewati suatu siklus yang tidak pendek untuk segera menerima clan mengakul perubahan. Bagan 10.2 berikut menjelaskan siklus tersebut.
Budaya Kepentingan Pribadi (self-interest). Dalam situasi yang berubah akan ada banyak pihak yang lebih mengedepankan kepentingan-kepentingan pribadinya. Masing-masing orang akan berupaya mengamankan kepentingan-kepentingan yang melekat pada dirinya, seperti posisi, karier, konsep, kelompok, anggaran, fasilitas, dan sebagainya. Ketika hal ini terjadi, ikatan (cohesiveness) organisasi menjadi pertanyaan besar. Banyak pekerjaan rutin yang tidak bisa diselesaikan tepat waktu, dan akibatnya reformasi, reor­ganisasi, atau langkah-langkah manajemen perubahan tidak bisa berjalan sebagaimana mestinya. Nilai-nilai kepentingan pribadi biasanya berkembang cukup lama dan sangat memusingkan pe­mimpin. Sebab, setelah mengurus kepentingan pribadinya, sese­orang akan mengutamakan kepentingan kelompoknya. Akibatnya, organisasi terbagi-bagi dalam berbagai silo, balk silo resmi maupun yang tidak resmi. Selain menjadi lamban bergerak, organisasi juga kaya dengan warna-warni office politics (seperti intrik dan upaya-upa­ya saling,menjatuhkan), tidak kreatif, dan boros.

Budaya Mencela. Ketika orang-orang mulai mengedepankan kepentingan pribadinya maka tidak akan ada lag, respek dari para pengikut. Orang-orang akan mulai saling mencela dan sinis ter­hadap perilaku dan tindakan atasan-atasan dan kolega mereka yang terlalu mengedepankan urusan-urusannya sendiri. Beberapa orang yang merasa terganggu dengan sinisme ini (namun memperoleb manfaat pribadi dari proses transisi) akan membangun kekuatan dukungan dari bawahannya dengan cara melakukan bagi-bagi man­{aat. Tetapi semua itu dilakukan bukan untuk kepentingan organi­sasi, melainkan untuk mengamankan kepentingannya. Akibatnya, sinisme tidak pergi-pergi, melainkan berubah menjadi budaya. Orang-orang yang baik dan berhati bersih tak akan luput dari sinis­me. Mereka semua memperoleh imbas dari proses transformasi ini. Yang baik menjadi tampak buruk, yang buruk menjadi tampak baik, dan seterusnya.

Budaya Tidak Percaya. Kepercayaan atau rasa saling percaya (di luar ikatan keluarga) adalah perekat bagi suatu institusi. Ketika respek sudah tidak ada lagi dan orang-orang saling mengedepankan kepentingan pribadinya, yang ada adalah rasa saling tidak percaya. Tanpa kepercayaan, otoritas tidak lagi memberikan makna. Tran­saksi antarkelompok menjadi sangat mahal, lambat, dan tidak da­pat dipegang kesepakatannya.
Budaya tidak percaya erat hubungannya dengan situasi/ikatan kepercayaan yang berlaku di suatu negara (macroculture). Ketika ma­syarakat suatu bangsa tidak memercayai pemimpin-pemimpinnya maka biaya transaksi menjadi sangat mahal. Mereka tidak lagi di­percayai rekan-rekan bisnis dari negara lain, dunia perbankan, per­dagangan, bahkan mereka juga tidak bisa memercayai sistem per­adilan dan mata uangnya sendiri. Untuk mengatasi semua itu para pelaku usaha cenderung memilih lokasi hukum di negeri lain, men­catat semua perjanjian secara detail, membayar pengacara, dan membebankan semua biaya itu pada pelanggan atau mitra bisnis­nya. Sebuah institusi yang diwarnai budaya saling tidak percaya sudah pasti tak punya masa depan.
Budaya Anomi. Transisi biasanya diikuti dengan peristiwa­-peristiwa penggabungan (merger) dan pemisahan (spin off) bagian-­bagian, unit-unit usaha, perusahaan, departemen, dan sebagainya. Tidak jarang pula pada masa ini institusi menempatkan orang-­orang baru pada kursi kepemimpinan yang datang dari luar. Mereka tidak mengikuti jalur karier tradisional melainkan melompat secara mengejutkan. Kalau pemimpin tak cukup kuat dan pengelolaan transisi tidak sempurna, semua ini bisa menimbulkan efek anomi, yaitu kehilangan identitas kultural atau jati diri. Orang-orang yang kehilangan jati diri atau identitas kultural dapat digambarkan sebagai orang yang berpakaian tidak pada tempatnya. Seperti orang berpakaian ke pesta untuk belajar di kampus atau sebaliknya. la akan merasa sangat tidak nyaman dengan dirinya sendiri karena kurang mengenal lingkungannya. la ingin cepat-cepat pergi meninggalkan institusi, tetapi merasa punya kewajiban untuk tetap berada di sana.

Buntut dari kehilangan identitas kultural adalah perasaan ketergantungan dan merasa salah terus. Mengikuti rapat, tapi tak tahu mau ke mana, siapa atasannya, seperti apa mereka, apa yang mereka harapkan, apakah pertemuan informal penting, dan seterusnya. Bekerja dengan atasan baru adakalanya berarti harus mulai lagi dari nol. Orang-orang yang tadinya dianggap tidak cakap atau dianggap lebih junior bisa menjadi atasan. Peta hubungan menjadi agak kacau. Segala sesuatu yang sudah menjadi biasa di masa lalu tiba-tiba menjadi gelap, tidak jelas lagi. Semuanya butuh waktu untuk menjadi jelas kembali.

Budaya Mengedepankan Kepentingan Kelompok (subkul­tur). Tidak semua perasaan tidak senang terhadap situasi baru dapat dinyatakan secara terbuka oleh manusia. Meski atasan atau pemim­pin puncak belum secara resmi mengambil langkah-langkah per­ubahan, suatu bocoran (issue) tentang kebijakan bisa saja menimbul­kan kegamangan-kegamangan. Perasaan-perasaan tidak senang it" dapat diungkapkan dalam bentuk nostalgia. Ketika orang-orang mulai bernostalgia maka itu pertanda bahwa mereka kurang senang terhadap situasi sekarang. Biasanya, nostalgia akan bergerak di ling­kungan yang homogen, yaitu subkultur, seperti kelompok profesi, kesamaan kelas/strata, angkatan saat masuk, jender, kelompok etnis tertentu, kelompok agama, dan seterusnya. Kelompok-kelompok ini tampak dalam berbagai aktivitas, termasuk aktivitas yang me­nyuarakan aspirasi pekerja, seperti serikat-serikat pekerja. Misalnya,

5. POLA PIKIR PNS PERLU BERUBAH

Dalam masyarakat ada adagium yang lazim menjadi pola pikir yaitu, ’Biar lambat asal selamat’. Pola pikir ini sudah tidak sesuai dengan era kini karena pola pikir ini mendorong orang bekerja pelan dan lamban. Pola pikir ini perlu diubah menjadi ‘Harus Cepat dan Harus Selamat’. Dengan pola pikir ini, PNS berpikir untuk mencari jalan bekerja cepat tetapi hasil tetap berkualitas.
Banyak orang, termasuk PNS yang mengharapkan atau bahkan berpikiran dirinya sebagai bangsawan. Jika ditanya mengapa senang jadi bangsawan, jawabnya adalah karena terhormat. Akan tetapi tidak banyak orang yang melihat ataupun mencari tahu mengapa bangsawan itu terhormat. Sama seperti jika orang ditanya mengapa senang masuk menjadi PNS, jawabnya, mungkin terbersit dalam hatinya karena terhormat. Pola pikir ini akan mendorong prilaku merugikan masyarakat, karena mereka berusaha mencari status kehormatan.
Pola pikir kehormatan dan yang bukan gila hormat adalah pola pikir yang digantungkan pada kemuliaan. Oleh karena itu, nilai dan keyakinan dasar yang mencerminkan kemuliaan itulah yang dapat mempertahankan kehormatan bangsawan itu sampai kapanpun. Begitu juga kalau memang PNS itu adalah berpangkal pada kehormatan. Nilai dasar yang hakiki untuk kemuliaan pada bangsawan dan PNS adalah pengabdian. Akan tetapi kebanyakan orang pasti akan menolak dengan makna harafiah dari kata tersebut karena harus mengabdi yang diartikan secara pendek rendah, hina dan nista. Pada jika dicermati pengabdian adalah perbuatan mulia dan kebesaran jiwa serta kehidupan.
Dengan kondisi dunia kini, PNS perlu merubah pola pikir, misalnya dari pola pikir PNS dari kekuasaan menuju pola pikir pelayanan. Bahkan nanti, pola pikir PNS tidak sekedar pada pola pikir pelayanan masyarakat tetapi juga menyentuh pola pikir pemberdayaan masyarakat. Kekuasaan adalah kehormatan semu dalam jangka pendek menjanjikan tetapi dalam jangka panjang menjerumuskan. Sedang sebaliknya pelayanan adalah kehormatan yang hakiki dalam jangka pendek kabur dan kurang dapat dipastikan, tetapi dalam jangka panjang sangat memberikan janji kebesaran dalam kehidupan. Seberapa panjang janji itu akan terwujud? Hal ini akan sangat tergantung pada jenis pohon yang ditanam, tanah yang disiapkan, pupuk yang diberikan, dan kehormatan sebagai panenan yang diharapkan.

TEHNIK MENGUBAH POLA PIKIR


1. PENGANTAR

Serombongan PNS tertahan di suatu tempat asing di luar kota sewaktu mereka melakukan tugas kantor. Mereka hanya menemukan bahan makanan yang kedaluwarsa. Karena lapar, mereka terpaksa menyantapnya, meskipun sebelumnya dicobakan dulu kepada seekor anjing yang ternyata menikmatinya dan tak terlihat efek sampingnya. Keesokan harinya, ketika mendengar anjing itu mati, semua orang menjadi cemas. Banyak yang mulai muntah dan mengeluh badannya panas atau terserang diare.
Seorang dokter dipanggil untuk merawat para penderita keracunan makanan. Kemudian sang dokter mulai mencari sebab-musabab kematian si anjing yang dijadikan hewan percobaan tersebut. Setelah dilacak, ternyata anjing itu mati karena terlindas mobil dan bukan karena makanan. Apa yang menarik dari cerita di atas ? Ternyata kita bereaksi menurut apa yang kita pikirkan, bukan berdasarkan kenyataan itu sendiri. ’We see the world as we are, not as it is’. Akar segala sesuatu adalah cara kita melihat. Cara kita melihat mempengaruhi apa yang kita lakukan, dan apa yang kita lakukan mempengaruhi apa yang kita dapatkan. Dengan mengamati ilustrasi ini diketahui bahwa, kita sering memiliki pola pikir yang kadangkala bertentangan dengan realita. Kalau itu terjadi, kita perlu melakukan perubahan pola pikir. Dan untuk merubah pola pikir ini diperlukan tehnik-tehnik khusus.
Pada bagian ini akan diawali dengan pembahasan tentang  kesulitan merubah pola pikir, lalu dilanjutkan ceramah dan indoktrinasi tidak dapat merubah pola pikir. Dan dilanjutkan dengan beberapa tehnik untuk merubah pola pikir. Pada bagian akhir akan disajikan rangkuman, latihan, dan instrumen otak kiri-otak kanan.


2. SULITNYA MERUBAH POLA PIKIR ORANG

Ini suatu ilustrasi dialog ketika seorang kaya bertemu dengan orang desa yang hidup pas-pasan. Ada seorang nelayan tradisional yang sedang mengail ikan di laut. Dari kejauhan, seorang pengusaha kaya dari kota mengamatinya ketika dia sedang berlibur ke desa. Pengusaha itu terheran-heran ketika melihat nelayan langsung pulang setelah mendapatkan dua ekor ikan. ’Mengapa dia tidak terus memancing’ tanya pengusaha itu dalam hati, ’padahal hari masih pagi’. Pada hari-hari berikutnya, pengusaha itu mengamati bahwa nelayan selalu pulang sebelum tengah hari meskipun hasil tngkapannya hanya sedikit. Orang kaya yang mengamati tersebut kemudian mendekati nelayan tersebut dan terjadilah dialog berikut ini.

Orang kaya      : ”Mengapa anda setiap sebelum tengah hari koq sudah pulang?”
Nelayan     : ”Saya harus segera kumpul dengan keluarga untuk bersenang-senang, istirahat, dan bercanda bersama”.
Orang kaya     : ”Mengapa kamu tidak berusaha menangkap ikan lebih banyak?”
Nelayan     : ” Untuk apa Saya menangkap lebih banyak, yang Saya dapat saja sudah cukup”
Orang kaya     : ”Jika anda dapat banyak ikan, kan bisa dijual dan hasilnya bisa ditabung”.
Nelayan     : ”Untuk apa Saya menjual hasil tangkapan dan menabung?”
Orang kaya     : “Dengan menabung bukankah membuat anda memiliki uang lebih banyak”
Nelayan     : “Untuk apa uang banyak?” kan Saya tidak memerlukan, uang Saya ini sudah cukup.
Orang Kaya    : “Jika anda punya tabungan, bisa punya modal, anda bisa menjadi usahawan, dan menangkap ikan dengan cara modern sehingga hasilnya lebih banyak lagi anda bisa semakin kaya”
Nelayan     : “Untuk apa Saya kaya?”
Orang Kaya    : “Kalau anda kaya kan jadi seperti Saya, bisa berlibur, bersantai, bercanda dengan keluarga, dan bisa membahagiakan keluarga”
Nelayan     : “Tidak usah kaya, sekarang Saya sudah bisa santai dengan keluarga, bercanda bersama, dan keluarga Saya sudah bahagia” lalu untuk apa Saya harus kerja keras untuk kaya?”

Ilustrasi di atas menggambarkan bagaimana sulitnya merubah pola pikir nelayan dengan pola pikir pengusaha.. Tidak mudah memang mengubah pola pikir, tetapi kita telah merenungkan akibatnya jika pola pikir itu tidak diubah. Bisa kita bayangkan jika Pegawai Negeri Sipil dalam melaksanakan tugas pemerintahan berpola pikir seperti nelayan tersebut. Ataukah mungkin itu gambaran para Pegawai Negeri kita saat ini.
           

3. BERPIKIR POSITIF DAN BERPIKIR NEGATIF

Belasan tahun yang lalu, ketika Saya masih menjadi seorang manager disebuah perusahaan publik, beberapa anak buah Saya mewakili teman2nya meminta Saya untuk mengajukan permintaan kepada perusahaan untuk menyediakan ruang makan, karena selama ini, apabila mereka makan dimeja kerja, kadang-kadang ada cipratan kuah atau saos yang menodai dokumen ataupun meja kerja mereka. Setelah melalui pengajuan proposal, presentasi dan dengar pendapat, akhirnya permohonan Saya disetujui dan jadilah kami memiliki sebuah ruang makan (ruang rapat yang disulap menjadi ruang makan, dengan sebuah microwave untuk memanaskan makanan yang dibawa karyawan dari rumah).
Anak buah Saya senang sekali, karena mereka dapat menghemat uang yang biasanya mereka gunakan untuk membeli makanan dari luar (bisa ditabung kan ?), karena setiap hari mereka bisa membawa makanan dari rumah (karena tetap dapat menikmati makan siang yang hangat dengan adanya microwave). Mereka bersyukur dan mengucapkan terima kasih kepada perusahaan karena mau mendengarkan aspirasi mereka dan perusahaan memberikan perhatian kepada hal-hal kecil yang diminta oleh karyawannya. Sayapun melakukan hal yang sama dengan membawa makanan dari rumah (karena biar bagaimanapun makanan rumah memang lebih higienis dan lebih cocok dengan selera lidah kita bukan ?). Padahal dengan demikian Saya juga bisa berhemat dan uang makan bisa ditabung.
Tetapi betapa terkejutnya Saya ketika sekretaris Saya memperlihatkan hasil print-out dari obrolan email beberapa rekannya yang mencerca keputusan perusahaan tersebut dengan mengatakan : "perusahaan ingin agar karyawan tidak makan keluar, sehingga waktu kerja kita lebih lama. Perusahaan ingin mengetahui apa yang digosipkan karyawan selama jam makan dengan memasang alat perekam di ruang makan (padahal Saya tahu persis hal tersebut tidak ada, pasti mereka terlalu banyak menonton film spionase)." Dan segala macam cercaan yang tidak masuk akal dan seperti dibuat-buat bahkan sangat memprovokasi. Panjang print-outnya email tersebut adalah 5 halaman folio.
Saya sempat heran juga, dan dalam hati Saya berkata :"Lho perusahaan kan hanya menyediakan fasilitas untuk karyawan yang membutuhkan dan tidak pernah memaksa semua karyawan harus bawa makanan dan harus makan di ruang makan. Karena ruang makan yang disediakan juga kecil, tidak mungkin cukup untuk semua karyawan'. Saat itu Saya sempat sedih juga, kok ada yah orang yang bisa berpikiran seperti itu.
Nah dari kisah di atas, anda dapat melihat bagaimana orang yang memang punya pikiran negatif selalu memandang setiap kebaikan orang lain menjadi kejahatan, mereka selalu dipenuhi pikiran curiga dan akhirnya akan merugikan dirinya sendiri (karena mereka akan pergi keluar makan setiap hari sebagai bentuk pemberontakan).
Mereka yang positif, pandai memanfaatkan momentum tersebut dan mereka dapat menabung uang makannya setiap hari (sedikit-sedikit yang lama-lama bisa menjadi 'bukit' bukan ?) Coba kita hitung: Kalau uang makan siang adalah Rp. 10 ribu, setiap bulan bisa menabung Rp. 250 ribu, setahun Rp. 3 juta rupiah, sepuluh tahun dengan bunga berbunga bisa menjadi ?
Ubahlah pikiran anda menjadi positif, pandanglah segala sesuatu dari sisi baiknya, karena dengan demikian, hidup anda akan jauh lebih indah dan kita akan selalu mensyukuri apapun yang kita miliki dan berterima kasih untuk setiap apapun yang kita terima (baik besar maupun kecil). Kita akan melihat bahwa dunia dan segala isinya memang benar-benar ramah dan baik kepada kita.

4. BERPIKIR PROAKTIF

Mereka yang memiliki pola pikir Proaktif, selalu membuat sesuatu terjadi seperti apa yang diinginkannya (make things happen). Apabila ada hambatan, mereka akan berusaha untuk mencari alternatif lain selama tujuan mereka tercapai. Mereka fokus kepada tujuan mereka, dan mereka percaya bahwa apapun bisa terjadi selama masih dapat dikendalikan oleh usaha sendiri. Seorang yang Reaktif, menunggu sesuatu terjadi, hasil kerjanya sering terpengaruh oleh kejadian diluar dirinya, dan dia tidak mau mengambil alih tanggung jawab.
Mereka mudah mengeluh dan menyalahkan kejadian, orang lain atau situasi. Saya ambil contoh : seorang salesman disebuah perusahaan penjualan berjanji untuk mengirim penawaran harga via email kepada pelanggannya siang hari. Ketika dia tiba dikantor pagi itu, ternyata listrik mati, dia kesal setengah mati dan menyalahkan PLN dan bercerita dengan teman2nya bahwa dia harus mengirim penawaran kepada pelanggan, teman2nya lalu bercerita bahwa dulu dia juga pernah mengalami hal yang sama, dan jadilah mereka bergunjing mengenai hal itu sampai siang.
Ketika siang harinya pelanggan menelpon ke HP salesman tersebut, diapun beralasan :" Pak, Saya belum bisa kirim penawaran karena listrik mati dari pagi, dan sampe siang ini belum hidup juga pak, nanti begitu listrik nyala, Saya langsung buat penawaran dan akan Saya kirim ke bapak". Sipelanggan marah dan menjawab :"Wah tidak usah deh, Saya sudah katakan bahwa penawaran harga Saya butuhkan siang ini karena akan Saya bawa kedalam rapat direksi siang ini, kalau anda belum memasukkan penawaran harga, maka Saya langsung putuskan saja perusahaan A yang menang"
Seorang yang Proaktif akan melakukan upaya apapun agar penawaran harga dapat tetap diterima oleh pelanggan tepat pada waktunya. Dia tidak tahu kapan listrik akan menyala, maka dia langsung membawa data2 yang dibutuhkan untuk membuat penawaran, lalu pergi ke warnet terdekat. Disana dia membuat penawaran harga dan langsung dikirimkan kepada pelanggan via email. Setelah selesai, dia menelpon pelanggan dari HPnya dan menanyakan apakah penawaran sudah diterima dan mengatakan apabila ada hal lain yang dibutuhkan bisa menelpon ke HPnya, karena dikantor sedang padam listrik.
Seorang Proaktif, tidak pernah hitung2an (misalnya : apakah nanti perusahaan akan mengganti biaya warnet, atau biaya HPnya), yang dia pikirkan adalah pekerjaannya selesai dan janji kepada pelanggan dipenuhi. Orang-orang sukses adalah orang2 proaktif. Mereka tidak menyalahkan orang lain atau situasi buruk apabila pekerjaan tidak dapat diselesaikan, dia akan mencari cara lain agar tujuannya tercapai. Itulah yang membedakannya dengan orang lain, itulah yang membuatnya menjadi 'Winner'.
Coba anda perhatikan semua atlit olahraga yang sukses pasti memiliki pola pikir seorang pemenang, contoh : Tiger Woods dapat melakukan pukulan yang luarbiasa dibidang olah raga Golf sementara usianya masih sangat muda karena dia sudah tekun berlatih sejak kecil. Michael Jordan melakukan latihan lebih lama daripada rekan2nya, ketika orang lain sudah lelah, dia masih terus melatih lemparan bolanya, dan menjadi legenda bibidang olah raga Bola Basket. Mereka mengambil alih tanggung jawab untuk menjadi seorang 'Winner'.
Dalam sebuah tayangan acara Oprah Winfrey Show beberapa tahun yang lalu, Saya menyaksikan wawancara Oprah dengan seorang pria yang tidak memiliki kedua kaki sejak lahir. Diperlihatkan bahwa pria ini dibesarkan oleh keluarga yang sangat menyayanginya, tetapi tidak pernah memberikan perlakuan berbeda dari dua orang kakaknya yang normal. Dia tetap harus melakukan pekerjaan dirumah (mencuci piring, membersihkan tempat tidur, dll). Dia juga harus berjalan 'tangan' kesekolah (karena dia tidak memiliki kedua kaki, maka kalau berjalan dia harus menggunakan tangannya sambil memindahkan badannya setiap kali). Ditayangkan bagaimana kecepatannya berjalan 'tangan' sambil membawa ransel dipunggungnya tidak berbeda dengan kecepatan temannya yang berjalan kaki.
Kesenjangan antara pola pikir, pola sikap dan pola tindak masyarakat kita dengan yang dipersyaratkan Birokrasi Mesin inilah yang membuat sulit untuk menciptakan perubahan.

5. BEBERAPA TEHNIK

Dari contoh di atas dan yang sering terjadi di birokrasi swasta, sebenarnya Sangat baik jika itu terjadi juga pada aparat birokrasi pemerintah. Pengubahan pola pikir pada dasarnya adalah pengubahan keyakinan akan nilai-nilai yang dianut, Oleh karena itu, ada beberapa cara yang dapat dipakai untuk mengubah pola pikir agar aparat pemerintah dapat bekerja menjadi lebih efektif dan efisien baik untuk organisasi maupun diri sendiri. Kelima cara itu adalah pertama mengubah keyakinan dengan pertanyaan kritis. Kedua mengubah keyakinan dengan teknik afirmasi dan visualisasi. Ketiga mengubah keyakinan dengan teknik pembebasan diri dari ikatan emosi. Keempat pengubahan keyakinan dengan menggunakan teklnik hipnoterapi. Kelima adalah pengubahan keyakinan dengan menggunakan program ”neuro-linguistic”

Teknik Pertanyaan Kritis. Teknik ini adalah mengubah keyakinan yang berasal dari mitos dan telah dinilai melalui teknik tertentu ternyata merupakan keyakinan yang menghambat tercapainya cita-cita atau harapan yang harus dicapai. Setelah menemukan keyakinan tersebut anda harus menguji kebenaran mitos tersebut melalui pertanyaan kritis sehingga akan menemukan keyakinan tersebut menjadi sebaliknya. Sebagai misal mencari uang telah dimitoskan susah. Dengan pertanyaan kritis maka akan ditemukan ternyata mencari uang itu mudah. Hal ini akhirnya diyakini dan menjadi pola pikir bahwa mencari uang itu ternyata mudah. Pada gilirannya perilaku yang terus dilakukan akan senantiasa menemukan jalan mencari uang itu menjadi mudah. Ingat kisah Robin Hood di Bab II.

Teknik Afirmasi. Teknik ini adalah pemrograman ulang ingatan bawah sadar yang menjadi sugesti sehingga kita punya semangat untuk berbuat. Keduanya menggunakan cara yang sama tetapi medianya berbeda. Afirmasi menggunakan media sugesti dengan kata-kata. Sedang Visualisasi teknik sugesti dengan menggunakan media gambar atau bayangan. Dasar pemikirannya adalah pada pikiran bawah sadar lebih banyak menggunakan media gambar dari pada kata-kata. Oleh karena itu, kedua cara tersebut harus digunakan untuk mendapatkan hasil yang lebih optimal. Ingat pada kisah-kisah berpikir positif dan proaktif di atas. Cara ini banyak digunakan dalam kegiatan-kegiatan motivasional. Cara yang digunakan adalah dengan menganalisis lapisan kehidupan dari sadar, bawah sadar yang terdiri atas pikiran kritis, pikiran modern, dan pikiran primitif. Dari hasil analisis lapisan pikiran ini akan ditemukan skenario hidup sebagai kumpulan dari keyakinan-keyaninan dan dibentuklah kemudian skenario hidup yang baru.

Teknik Pembebasan Diri Dari Ikatan Emosi. Teknik ini adalah adalah pengubahan pola pikir dengan cara mengalihkan sumber-sumber emosi penolakan yang dirasakan menghambat pencapaian tujuan hidupnya. Pengalihan atau penetralan sumber emosi penolakan dilakukan dengan dibarengi dengan ketukan akupuntur dengan jari. Dalam penetralan emosi penolakan juga digunakan kata-kata afirmasi. Ada lima langkah yang harus diikuti dalam teknik ini yang berguna untuk menghancurkan mental blok, yaitu mengukur kualitas dan besaran masalah, melakukan penyiapan emosi yang disebut set up, melakukan urutan pengetukan, menutup dengan 9 prosedur gammut (meyakinkan diri), terakhir mengulangi urutan pengetukan dan mengukur perubahan. Pelaksanaan penetralan emosi penolakan ini dilandasi dengan sikap positif dan hukum alam sebagi janji Tuhan pada umatNya.

Teklnik Hipnoterapi. Teknik ini banyak namanya ada yang terapi gestalt ada pula yang menyebut dengan ”transactional analysis”. Pada dasarna adalah merupakan ”The Art Of Subconciuosness Restructuring” atau ”The Art Of Subconciuosness Communication”. Teknik ini dapat dilakukan dengan bimbingan ahli, tetapi dapat dilakukan sendiri yang disebut dengan parts therap. Langkahnya hampir sama dengan teknik lainnya selalu mencari akar permasalahan. Hanya dalam teknik ini menggunakan teknik lain yang disebut dengan ”affect bridge”

Teknik Program ”Neuro-Linguistic”.  Teknik  menggunakan tiga berpikir yaitu visual, auditorial, dan kinestetik. Visual adalah membuat gambar atau bayangan dalam pikiran kita, auditorial adalah melakukan percakapan dengan diri sendiri, dan kenestetik adalah melibatkan perasaan dan emosi dalam melakukan tindakan. Cara ini sebenarnya adalah suatu cara untuk menghilangkan virus pikiran yang selalu menyabotase pikiran kita dalam mencapai tujuan. Hampir semua virus yang menyabotase pikiran kita adalah pikiran setaniah, sehingga orang akan cenderung berbuat setaniah. Intinya teknik ini adalah membuat koherenitas gerak pikiran kita dalam mencapai tujuan. Cara yang harus dilakukan adalah menemukan ketidak koherenitas pikiran, mencari modalitas, dan menemukan trigger. Selanjutnya adalah menciptakan power trigger, collapsing ancjor, dan setting reverse trigger.

Tehnik refleksi dalam situasi konflik
Salah satu tehnik yang bisa juga digunakan untuk merubah pola pikir yang sudah diyakini adalah dengan melakukan refleksi sambil menguji pola pikir yang ada dengan beragam peristiwa terutama peristiwa yang mentang pola pikirnya. Ketika pola pikirnya tidak dapat digunakan untuk memvalidasi peristiwa nyata, pada keadaaan ini ada peluang individu untuk memperbaiki atau bahkan merubah pola pikir lama menjadi pola pikir baru yang lebih fungsional dengan beberapa peristiwa yang ada.